Menukar Manusia dengan Jin? Analogi Ustadz Adi Hidayat Soal NFT dan Kripto Menurut Hukum Islam

NFT dan Kripto Menurut Hukum Islam
NFT dan Kripto Menurut Hukum Islam
0 Komentar

Namun, sering kali muncul kekhawatiran bahwa nilai-nilai digital tersebut bisa dikendalikan sepihak oleh otoritas tertentu, sehingga nilainya bisa naik turun secara tidak adil dan merugikan pengguna. Maka alternatifnya adalah dengan menggunakan sistem underlying asset yang jelas, misalnya emas—karena emas memiliki nilai yang disepakati secara global, dan relatif stabil. Jadi jika uang digital didasarkan pada emas sebagai dasar nilainya, perdebatan pun dapat diminimalkan.

Uang digital dapat difasilitasi selama ada underlying yang nyata. Dengan begitu, persoalan global terkait ketidakpastian dan ketimpangan ekonomi dapat lebih mudah diselesaikan. Bahkan jika kita jujur, mengapa tidak kembali saja ke sistem berbasis emas? Sebuah sistem yang sudah pernah diterapkan di masa lalu dan terbukti memberikan kepastian nilai. Indonesia pun pernah menggunakan sistem semacam ini dalam sejarahnya.

Kembali pada aspek hukum. Ketika Anda bertanya tentang bagaimana pandangan agama terhadap cryptocurrency, perlu diketahui bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah melakukan kajian mendalam mengenai hal ini. Inti dari permasalahan yang ditemukan tidak jauh dari dua hal besar: pertama, kepastian wujud aset; dan kedua, jaminan nilai atau kestabilannya.

Baca Juga:Mining Bitcoin Gak Bisa Pakai Laptop Biasa! Ini Penjelasan Lengkapnya4 Trik Ampuh Memunculkan Fitur Dana PayLater yang Sering Terlewatkan

Penting untuk dipahami bahwa pandangan agama bukan berarti menolak kemajuan. Justru, Islam sangat menghargai dan mengapresiasi perkembangan teknologi dan inovasi. Namun, penetapan hukum dalam hal ini bertujuan memberikan perlindungan dan kepastian agar tidak terjadi ketimpangan atau kerugian sepihak.

Kesalahan berpikir yang sering muncul adalah ketika suatu hukum agama—misalnya menyatakan suatu hal haram—langsung dianggap sebagai bentuk penolakan terhadap kemajuan atau kreativitas. Padahal, hakikatnya tidak demikian. Hukum hadir justru untuk membimbing dan mengarahkan agar semua bentuk inovasi tetap berada dalam koridor kemaslahatan yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia.

Jika kita merujuk pada sila kelima Pancasila—”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”—maka semestinya nilai keadilan itu benar-benar diwujudkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama, khususnya Islam, adalah ajaran yang melintasi ruang dan waktu. Artinya, prinsip keadilan sosial yang diusung tidak hanya berlaku untuk satu wilayah atau zaman tertentu, melainkan untuk seluruh umat manusia.

0 Komentar