JABAR EKSPRES – Rencana perubahan kebijakan cukai yang mendorong kenaikan tarif cukai terhadap produk rokok berpotensi memengaruhi daya beli konsumen dan stabilitas penerimaan negara.
Berdasarkan data di lapangan, mayoritas konsumen rokok dengan harga terjangkau berada pada kelompok pendapatan sekitar UMR atau bahkan di bawahnya, sehingga kenaikan tarif cukai dapat mendorong harga jual menjadi lebih tinggi dan mengancam keberlangsungan industri rokok skala menengah.
Produk rokok dengan harga Rp13.000 – Rp15.000 per bungkus masih menjadi pilihan utama, sementara kenaikan tarif cukai dapat mendorong harga jual menjadi kisaran Rp20.000 per bungkus atau lebih.
Baca Juga:Pemkot Bogor Seleksi Tujuh Kandidat Calon Sekda Baru, Ini Sosoknya!Pasar Gembrong Sukasari Siap Tampung 600 Pedagang, Dedie Rachim Berikan Catatan
“Penting untuk merumuskan kebijakan cukai yang berimbang agar tidak mendorong pergeseran konsumsi ke produk-produk yang tidak tercatat atau tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara,” kata Ketua Komisi XI DPR RI, M. Misbakhun di Jakarta.
Misbakhun mmenekankan bahwa pabrik rokok skala menengah memiliki peran vital dalam menopang ekonomi lokal, termasuk menyerap banyak tenaga kerja dan menggerakkan sektor pendukung seperti petani, pedagang kecil, distributor, dan pekerja informal lainnya.
Jika kebijakan yang diterapkan terlalu menekan pabrikan menengah, bisa muncul efek domino seperti penurunan serapan tenaga kerja dan terganggunya perputaran ekonomi lokal.
“Kita tidak bisa mengabaikan dampak strukturalnya. Jika kebijakan yang diterapkan terlalu menekan pabrikan menengah, bisa muncul efek domino seperti penurunan serapan tenaga kerga dan terganggunya perputaran ekonomi lokal. Ini tentu tidak sejalan dengan Visi Asta Cita Presiden Prabowo,” tegasnya.
Politikus Partai Golkar ini juga menyoroti potensi dominasi perusahaan besar dalam industri rokok jika kebijakan hanya menguntungkan pelaku usaha bermodal besar dan berbasis otomatisasi.
Sementara pabrik kecil dan menengah yang cenderung padat karya akan menghadapi tantangan besar dalam bertahan.
Dari data Asosiasi Indusrti Rokok menunjukkan bahwa sekitar 70 persen produksi nasional dikendalikan oleh perusahaan besar, sementara pelaku skala kecil-menengah hanya menguasai porsi pasar yang terbatas.
Baca Juga:Dedi Mulyadi Sebut Banjar Kota Paling Ripuh dan Pangandaran Setengah SekaratPemerintah Gagal Kelola Hutan, Program KHDPK Jadi Gerbang Swasta Dapatkan Izin Rusak Lingkungan
“Jika konsentrasi pasar terus meningkat, iklim persaingan yang sehat akan tergerus dan keberlangsungan usaha kelas menengah menjadi terancam,” ujarnya.
Misbakhun menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang memperhatikan daya beli masyarakat justru akan lebih efektif dalam jangka Panjang, termasuk dalam menjaga kontribusi terhadap penerimaan negara.
