Peringati May Day, Aliansi Buruh Bandung Raya Serukan Perlawanan Ketimpangan Struktural

JABAR EKSPRES – Di tengah tekanan ekonomi dan politik yang kian menyesakkan, ratusan buruh di Bandung Raya menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang mereka hadapi saban hari.

Dalam peringatan Hari Buruh Internasional, Aliansi Buruh Bandung Raya menyampaikan sikap politik keras atas kondisi yang mereka nilai kian menindas.

“Khususnya kondisi buruh perempuan hari ini jauh semakin rentan, apalagi di tengah susahnya menjadi pegawai tetap. Pada akhirnya ini tak hanya akan memengaruhi kesehatan dan jaminan kerja mereka,” kata salah satu buruh yang tergabung aliansi, Ajat kepada wartawan di Taman Cikapayang, Kamis (1/5).

Di sisi lain, Aliansi Buruh Bandung Raya (ABBR) juga menyorot masih banyaknya eksploitasi industri kapitalistik terhadap lingkungan dan alam tak hanya, sumber daya manusia. Hal tersebut jadi sesuatu yang kian miris, sebab dapat berujung pada bencana.

“Konsekuensinya terasa di mana-mana: alih fungsi lahan, kerusakan ekologis, dan bencana alam yang terus meningkat. Semua ini adalah dampak langsung dari kerakusan industri yang merampas ruang hidup rakyat demi akumulasi modal,” sebagaimana dikutip dari rilis ABBR yang diterima.

BACA JUGA: 3.550 Buruh Cimahi Bergerak ke Jakarta, Disnaker Fokus Jaga Kondusivitas dan Kemitraan

“Buruh tetap menjadi kelompok paling rentan sekaligus paling diandalkan untuk menopang ekonomi nasional,” sambungnya.

Aliansi menyoroti, arah pembangunan nasional yang dinilai masih bertumpu pada ekstraktivisme dan menimbulkan kerusakan ekologis serta bencana alam.

“Negara terus menguatkan fondasi politik yang memihak kepentingan pemodal,” lanjut pernyataan itu, merujuk pada revisi UU TNI dan RUU Kepolisian yang mereka anggap membuka ruang bagi militer dan polisi menjadi penjaga kepentingan korporasi.

Aliansi juga menolak normalisasi militerisme dalam ruang publik serta penggunaan struktur Komando Teritorial yang mereka nilai justru mengawasi kehidupan sipil.

Di wilayah Bandung Raya, aliansi menggambarkan kondisi buruh dalam dua wajah: buruh sektor jasa dan wisata di pusat kota, serta buruh tekstil dan garmen di pinggiran.

Namun keduanya disebut mengalami kondisi serupa: sistem kerja fleksibel, upah minim, dan tanpa perlindungan. Mereka juga terjerat utang dari lembaga pinjaman mikro.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan