JABAR EKSPRES – “Jurnalis juga buruh!,” teriak pewarta yang tergabung dalam sejumlah organisasi jurnalis. Mereka yang selama ini mewartakan jeritan orang lain, kini bersuara untuk dirinya sendiri pada momen Hari Buruh Sedunia di Taman Cikapayang, Kamis (1/5).
“Selain upah layak, hak-hak normatif lainnya juga harus diperoleh oleh jurnalis, yaitu hak cuti—baik cuti tahunan, cuti sakit, atau cuti hamil bagi jurnalis perempuan,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Ikbal Tawakal, dalam peringatan Hari Buruh Internasional 2025.
Bukan hanya AJI Bandung, hadir pula organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) Bandung dan organisasi pewarta lainnya yang ikut membicarakan nasib jurnalis.
“Hak untuk beristirahat atau memulihkan diri adalah hak yang tidak bisa diabaikan begitu saja,” sambungnya.
Di antara deretan tuntutan yang dibawa para jurnalis yang turut turun ke jalan bersama Aliansi Buruh Bandung Raya. Di tengah gegap gempita May Day, para pewarta mengangkat suara mereka: bahwa di balik berita-berita yang mereka sajikan setiap hari, ada realitas getir yang jarang diungkap yaitu hak-hak dasar sebagai pekerja yang belum juga terpenuhi.
Survei AJI Bandung menunjukkan bahwa tak sedikit jurnalis yang menerima upah di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Bahkan, masih ada yang digaji berdasarkan jumlah berita yang tayang. Praktik ini bukan hanya mencederai profesionalisme, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup para jurnalis yang bekerja tanpa kepastian penghasilan.
“Upah layak tak sekadar angka,” ujar Ikbal. “Itu bentuk penghargaan terhadap kerja-kerja jurnalistik yang membawa risiko tinggi, tanggung jawab besar, dan tekanan mental yang tak kecil.”
Tak hanya soal gaji, banyak jurnalis juga tidak mendapatkan hak-hak normatif sebagaimana mestinya. AJI Bandung menyoroti cuti tahunan, cuti sakit, hingga cuti melahirkan bagi jurnalis perempuan kerap kali tak tercantum dalam kontrak kerja. Dalam sejumlah kasus, jurnalis bahkan diminta tetap meliput saat sedang sakit atau berduka.
Di sisi lain, Tunjangan Hari Raya (THR) yang seharusnya menjadi hak sesuai peraturan ketenagakerjaan, kerap tak diberikan atau hanya dibayar separuh. Padahal, THR bukan bonus, melainkan bagian dari penghargaan terhadap kontribusi sepanjang tahun.