AS Nilai QRIS Menghambat Perdagangan, BI Buka Peluang Kerja Sama?

JABAR EKSPRES – Penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) turut menjadi sorotan Amerika Serikat (AS). Mereka menilai penggunaan QRIS menjadi salah satu penghambat perdagangan.

Menanggapi itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menyebut pihaknya terbuka untuk menjalin kerja sama dengan negara manapun, termasuk AS dalam penggunaan QRIS.

Menurutnya, kerja sama terkait fast payment apapun termasuk QRIS, tergantung kesiapan masing-masing negara. “Kalau Amerika siap, kita (Indonesia) siap, kenapa tidak (untuk kerja sama)?” kata dia di Jakarta, dikutip Selasa (22/4/2025).

BACA JUGA:Tingkatkan Industri Perikanan, KKP Perkuat Investasi Perdagangan dengan China

Selain itu, kata dia, metode pembayaran non-tunai yang dikeluarkan perusahaan jasa keuangan AS seperti Visa dan Mastercard, masih diminati banyak masyarakat.

“Sampai sekarang kartu kredit yang selalu direbutin Visa dan Mastercard kan masih juga dominan. Jadi itu tidak ada masalah sebenarnya,” kata dia.

Sebelumnya, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) merilis daftar hambatan perdagangan di sejumlah negara termasuk Indonesia. Mengutip dokumen USTR, salah satu yang disoroti oleh AS yakni penggunaan QRIS melalui penerbitan Peraturan BI No. 21/2019.

BACA JUGA:Relaksasi TKDN Picu Bisnis Otomotif Anjlok, Gaikindo Minta Pemerintah Berhati-hati

“Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat perubahan potensial atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada,” tulis USTR dalam dokumennya.

Selain QRIS, AS juga menyoroti hal lainnya yang dinilai menjadi hambatan perdagangan termasuk penerapan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) di Indonesia melalui Peraturan BI No. 19/08/2017.

“Peraturan tersebut memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20 persen pada perusahaan yang ingin memperoleh izin switching untuk berpartisipasi dalam GPN, yang melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik,” tulis USTR.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan