TPPAS Sarimukti Butuh Rp20 Miliar untuk Rehabilitasi Kolam Stabilisasi IPAL

JABAR EKSPRES – Kondisi Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Sarimukti sudah kronis. Tapi “dipaksa” bertahan untuk tetap beroperasi. Guna menyambung hilir pengelolaan sampah sembari menunggu operasional TPPAS Legok Nangka.

Terbaru, muara sampah di Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat itu membutuhkan kucuran dana sekitar Rp20 Miliar di 2025. Itu untuk keperluan rehabilitasi kolam stabilisasi.

Hal itu diungkapkan perwakilan UPTD PSTR Jabar saat menggelar pertemuan dengan Komisi IV DPRD Jabar, Rabu (11/12). “Itu baru perkiraan,” kata Awis.

Rehabilitasi kolam itu perlu segera dilakukan. Karena ada bagian kolam yang longsor. Itu bisa berdampak pada kebocoran limbah jika dibiarkan.

BACA JUGA:KPU Percepat Proses PAW Sundaya, Ini Calon Penggantinya

Awis mengakui bahwa Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di TPPAS Sarimukti itu dalam kondisi sedang tidak baik-baik saja. Seharusnya TPPAS itu sudah ditutup sejak 2017 lalu. Namun sampai sekarang terus beroperasi. Sampai sekarang ada sekitar 24 juta meter kubik sampah masuk. Itu sudah over load lebih dari 10 kali.

Pihaknya juga sempat mendapat sanksi administratif dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). UPTD PSTR juga langsung bergerak untuk melakukan perbaikan. Dalam waktu dekat, pihaknya juga bakal melakukan langkah jangka pendek untuk mengurai masalah itu. Salah satunya dengan menguras kolam. Sedangkan rehabilitasi kolam itu sebagai langkah jangka panjang yang diupayakan untuk tahun anggaran 2025.

Sebelumnya, Sejumlah pakar yang hadir di pertemuan di Ruang Komisi IV DPRD itu semakin menguatkan kondisi kronis TPPAS Sarimukti. Prof. Etty Riani dari IPB misalnya, ia menjabarkan sejumlah data penelitan dan temuan terkait pencemaran air di Sungai Citarum. Yang juga buntut dari TPPAS Sarimukti.

BACA JUGA:Pertama di Kota Bogor, Disdukcapil dan Puskesmas Raih Predikat ZI WBK 2024

Misalnya data temuan mengenai kualitas air sungai 500 meter dari outlet IPAL TPPAS Sarimukti. Di antaranya kadar klorida 855,5 yang melebihi baku mutu 300. Lalu Amonia di angka 12,79 yang jauh dari standar baku mutu di angka 0,1. “Amonia tinggi, makanya ikan mati,” cetus Prof. Etty.

Prof Etty melanjutkan, pihaknya juga mendapati dampak nyata dari kondisi air yang tidak sehat itu. Salah satunya mengenai kerusakan hati dan ginjal pada sejumlah ikan yang disample dari beberapa bendungan yang dialiri Sungai Citarum.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan