Kian Hari Armada Angkutan Umum Semakin Tak Diminati

JABAR EKSPRES – Pengamat Transportasi Publik menilai, pemenuhan layanan kendaraan umum bagi masyarakat masih perlu dilakukan banyak pembenahan oleh pemerintah.

Menurut Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, dalam upaya membenahi angkutan umum jangan berhenti hanya di Kementerian Perhubungan.

“Keikusertaan Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri juga diperlukan,” katanya kepada Jabar Ekspres melalui seluler, Senin (8/7).

Selain itu, Djoko menerangkan, tidak kalah pentingnya alokasi anggaran dari Kementerian Keuangan, untuk keberlangsungannya dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK).

BACA JUGA:Polda Sumut Tangkap Pelaku Pembakaran Rumah Wartawan Tribrata TV di Karo

“Tidak mudah untuk membenahi angkutan umum di Indonesia yang sudah lama dibiarkan tidak berkembang,” terangnya.

Sebagai contoh, di Kota Semarang beroperasi Bus Trans Semarang pada 2009, setelah dirintis sejak 2005 lalu. Artinya membutuhkan waktu selama 5 tahun untuk mulai melayani masyarakat.

Kemudian contoh lainnya yakni, Bus Trans Jateng yang beroperasi pada 2017 lalu. Membutuhkan waktu 8 tahun, sejak 2009 dilakukan kajian, perencanaan, sosialisasi hingga pengalokasian anggaran.

Djoko menjelaskan, pendekatan kepada operator eksisting memerlukan waktu diskusi cukup lama. Sementara Program Pembelian Layanan (buy the service/BTS) dirintis sejak akhir 2017, baru efektif beroperasi Juni 2020 lalu.

BACA JUGA:Komisi IV Dorong Percepatan Persiapan Teknis dan Stasiun Antara TPPAS Legok Nangka

“Semua itu membutuhkan proses dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Itupun Program BTS hingga sekarang masih harus dilakukan proses penyempurnaan, agar mendapatkan model yang tepat dalam mengelola angkutan umum bersubsidi di Indonesia,” jelasnya.

Untuk mewujudkan angkutan umum yang humanis, ujar Djoko, masalah sosial lebih mengemuka ketimbang persoalan teknis. Melibatkan operator eksisiting lebih tepat kendati memerlukan waktu untuk meyakinkan.

“Selain ketersediaan anggaran juga tidak kalah pentingnya ada kemauan politik (political will) kepala daerah,” ujarnya.

Djoko menyampaikan, proses ‘menggeser’ lebih tepat ketimbang ‘menggusur’ operator yang ada. Menggeser praktek pengemudi dari setoran menjadi mendapat gaji bulanan.

BACA JUGA:Soroti Kasus Asusila Hasyim Asy’ari, Komisi II DPR RI Minta Penjaringan Komisioner KPU Diperketat

“Dari manajemen perorangan menjadi angkutan umum berbadan hukum, sesuai amanah pasal 139 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” bebernya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan