Ditjen Minerba Samakan Persepsi usai Pimpinanya Diringkus Kejagung

JABAR EKSPRES – Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) menyatukan langkah dan persepsi usai pucuk pimpinannya Ridwan Djamaluddin diringkus Kejaksaan Agung (Kejagung). Eks Dirjen Minerba itu jadi tersangka kasus dugaan korupsi pertambangan ore nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Penyatuan persepsi itu dikemas dalam Focus Group Discussion (FGD) Selasa (22/8). Selain pejabat Minerba, pertemuan itu juga menghadirkan sejumlah pakar hukum, termasuk penasihat dan keluarga tersangka.

BACA JUGA: Sidang Dugaan Korupsi Kominfo Kembali Digelar Hari Ini, PN Jaksel Panggil Kejagung

Dalam pertemuan itu, Mantan Hakim Tipikor Dr. H.M. Nawawi berpendapat, kasus terkait Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) itu sudah masuk tahap litigasi, maka penanganannya harus fokus dan hati -hati. “Jangan sampai salah langkah,” terangnya sebagaimana dikutip dari risalah FGD.

Nawawi melanjutkan, kasus tersebut posisinya masalah diskresi yang sebenarnya masuk wilayah administrasi
negara. Sehingga kalau dipersalahkan seharusnya wewenang PTUN bukan Tipikor. “Kalau kasusnya korupsi harus ada kerugian negara dan kerugian negara tersebut harus pasti serta ada hubungan kualitas dengan pokok perkara,” sambungnya.

Ia juga menyarankan jika persidangan berlangsung antar tersangka tidak saling menyalahkan atau saling menelanjangi. Jika perlu, dilakukan persesuaian.

Sementara itu, Mantan Jamintel Kejagung Dr. Adjat Sudrajat berpendapat, Kasus ore nikel di Blok Mandiodo Sulawesi Tenggara itu bersumber dari adanya RKAB yang terbit atas dasar diskresi. “Diskresi itu sendiri merupakan kebijakan dan kebijakan tidak bisa di kriminalisasi. Itu sesuai Undang-Undang No. 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan,” cetusnya.

BACA JUGA: Update Kasasi Ferdy Sambo, Kejagung: Putusan MA Sudah Mengakomodasi Tuntutan JPU

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, menilai kinerja aparat penegak hukum banyak yang tidak proporsional, khususnya dalam kasus diskresi. Menurutnya, pemberian diskresi atau freies ermessen adalah agar para pejabat
pemerintah memiliki kebebasan mengenai cara bagaimana kekuasaan atau kewenangannya itu dijalankan dari pada sekadar melaksanakan aturan–aturan
yang terperinci. “Dalam praktiknya perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang berada pada wilayah grey area,” sambungnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan