Keunikan Kampung Adat Cireundeu di Cimahi, Cocok untuk Pecinta Alam dan Budaya

Mayoritas penduduk, termasuk di Cireundeu, tetap teguh pada keyakinan ini sejak lama. Mereka menganggap kepercayaan mereka sebagai agama yang besar.

Prinsip-prinsip yang mereka anut meliputi nilai sopan santun dan penghormatan terhadap alam. Bagi mereka, agama adalah sebuah pegangan yang menjadi panduan hidup dan sarana keselamatan. Pemahaman ini tidak dapat dipisahkan dari makna budaya.

BACA JUGA: Keindahan Wisata Teras Danoe di Pangalengan, Bisa Camping Dekat Danau Alam Terbuka

Seseorang menjalankan dan memahami budaya yang melekat pada keyakinannya. Itulah cara mereka melihat agama.

Tuhan dalam kepercayaan Sunda Wiwitan disebut sebagai “Gusti Sikang Sakang Sawiji Wiji”, yang dapat diartikan sebagai pencipta yang berada di atas segalanya.

“Mulih Kajati Mulang Ka Asal”, yang artinya setiap manusia akan kembali kepada Tuhan.

Tidak Biasa Makan Nasi

toko singkong

Salah satu tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang adalah sering berpuasa dengan tidak mengonsumsi beras dalam periode tertentu.

Tradisi ini di Kampung Adat Cireundeu terkait dengan ungkapan yang disampaikan oleh leluhur mereka, yaitu “Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat”.

Dalam bahasa Indonesia, kalimat ini dapat diterjemahkan sebagai “Tidak punya sawah, asal punya beras. Tidak punya beras, asal bisa menanak nasi. Tidak punya nasi, asal bisa makan. Tidak makan, asal tetap kuat.”

Tujuan dari puasa tersebut adalah untuk mencapai kemerdekaan dalam hal fisik dan spiritual, serta sebagai ujian iman bagi individu serta sebagai pengingat akan kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai pengganti konsumsi nasi, masyarakat di Kampung Adat Cireundeu mengonsumsi rasi atau beras singkong.

Masyarakat Kampung Adat Cireundeu telah mengonsumsi singkong selama sekitar 98 tahun. Kebiasaan ini bermula ketika sawah di kampung tersebut mengalami kekeringan pada sekitar tahun 1918.

Para leluhur kemudian menyarankan untuk menanam ketela. Pada tahun 1924, masyarakat Cireundeu mulai mengonsumsi ketela sebagai pengganti nasi, dan tradisi ini berlanjut hingga saat ini. Singkong juga diolah menjadi berbagai camilan seperti opak, simping, cireng, dan makanan lainnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan