MENJELANG Imlek ini seorang pimpinan kelenteng menurunkan papan nama. Lalu menggergajinya. Ia marah, tapi tidak tahu harus marah ke siapa: organisasi kelenteng yang ia ikuti tidak kunjung rukun.
“Saya tidak mau lagi ikut organisasi. Toh tidak banyak gunanya,” ujar pimpinan kelenteng tersebut. “Kelenteng saya akan berdiri sendiri. Tidak ikut organisasi apa pun,” tambahnya.
Begitulah situasi organisasi kelenteng di bawah Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Indonesia. Terutama sejak ketua umumnya yang legendaris itu meninggal dunia: Ongko Prawiro.
Ongko adalah bos besar pabrik kertas PT Jaya Kertas. Ia meninggal setahun yang lalu. Pekan lalu pengurus kelenteng dari berbagai daerah ke Surabaya. Resminya mereka memperingati setahun meninggalnya Ongko.
Agenda lainnya untuk baku dapa: mencoba bersatu kembali. Mereka berkumpul di depan altar untuk mengenang kepemimpinan Ongko yang damai.
Peringatan itu dilakukan di rumah duka komersial Grand Heaven. Di salah satu ruang di lantai 7. Grand Heaven adalah rumah kematian yang baru Surabaya. Menjadi pesaing rumah duka lama: Adi Jasa.
Grand Heaven seperti hotel bintang lima. Bahkan banyak yang mengira itu memang hotel. Betul saja, itu memang hotel: bagi orang yang telah meninggal dunia. Mobil pengangkut mayatnya pun menarik: bertulisan journey to heaven.
Format peringatan satu tahun Pak Ongko itu persis seperti mesong: seolah jenazah Pak Ong masih ada di situ.
Masing-masing pengurus maju ke altar. Ada foto besar pak Ongko di atas altar itu. Mereka pun secara secara bergilir membakar yosua. Menggerak-gerakkannya seperti sembahyang. Lalu menancapkan yosua menyala itu ke pot yang diisi abu. Mereka lantas menghormat ke foto pak Ong yang ada di atas altar.
Saya lihat tiga orang datang dari sejauh Palembang. Di Palembang kelenteng anggota Tri Dharma memang paling banyak: 70 kelenteng. Ada juga dari Riau. Di sana anggotanya juga banyak.
Kelenteng Tri Dharma adalah kelenteng untuk umat Tao, Buddha dan Konghucu. Awalnya ini soal politik. Sejak peristiwa tahun 1965, Konghucu tidak boleh hidup. Kelentengnya ditutup. Tapi kenyataannya kelenteng Konghucu terlalu banyak. Maka secara politis dicarikan jalan keluar: dijadikan kelenteng Tri Dharma. Nama Konghucu ”disembunyikan” di balik Buddha.