Pembukaan ICAS FEST 2022: Pemahaman Seni Melalui Sejarah, Budaya dan Lingkungan

BANDUNG — International Culture Arts Space (ICAS) Fest 2022 resmi dibuka di Gedung Kesenian Sunan Ambu, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Kegiatan yang pertama kali dilakukan adalah seminar internasional bertajuk “soCIETY 5.0 #4: Creative Practice Into Research”. Pada kegiatan ini, peserta seminar berkumpul secara langsung di Gedung Kesenian Sunan Ambu, ISBI Bandung. Sementara, pembicara seminar membawakan materi secara daring melalui aplikasi Zoom.

Adapun kegiatan ini dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Himne ISBI Bandung. Setelahnya, Dr. Yanti Heriyawati, S.Pd., M.Hum selaku rektor dari program Pascasarjana ISBI Bandung memberikan sambutan. Yanti mengatakan, ICAS Fest ini juga merupakan wacana ilmuwan melalui karya yang dilandasi kegiatan ilmiah. Oleh sebab itu, diadakan seminar internasional untuk melihat seni dari perspektif ilmiah.

Di sini ditampilkan sebuah video karya Yanti Heriyawati yang berjudul Pukat Lam Dunya, sebuah karya yang menampilkan fenomena nelayan di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Judul Pukat Lam Dunya menggabungkan dua bahasa, antara bahasa Aceh dan bahasa Sunda. “Pukat” artinya jaring yang digunakan untuk menangkap ikan, “Lam” artinya dalam, dan “Dunya” yang berarti dunia. Melalui durasi sekitar 20 menit, Pukat Lam Dunya menampilkan nyanyian, laut, aktivitas nelayan, hingga tarian. Karya video Pukat Lam Dunya ini juga merupakan hasil penelitian dari Prioritas Riset Nasional (PRN).

Pembicara pada sesi pertama adalah Luthfi Adam, Ph.D yang merupakan seorang sejarawan modern Asia Tenggara dan sejarawan lingkungan. Luthfi juga seorang peneliti dari Monash University Indonesia. Dalam sesi yang berjudul History, Culture, and the Environment, Luthfi yang sedang berada di Washington, D.C itu menjelaskan bagaimana lingkungan sebagai agen perubahan untuk sejarah dan budaya. Melalui zoom, ia memberikan apresiasi kepada ISBI Bandung atas ICAS Fest 2022 dan fokusnya terhadap isu humaniora.

“Gaya humaniora harus bisa membuat pembaca tergugah,” kata Luthfi saat pemberian materi.

“Sejarah adalah argumentasi, sehingga tidak bisa dikatakan kebenaran mutlak. Namun, sejarah bisa membantu untuk memahami masalah yang terjadi saat ini,” sambungnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan