Jughuhn, Sosok yang Dilupakan dan Ditinggalkan Sejarah Indonesia

Jabar Ekspres, Akmal Firmansyah, Bandung

 

Suasana asri dan sejuk membuat sekujur tubuh begitu tenang, angin-angin yang menusuk pada pundak membuat nyaman. Begitulah pagi menjelang siang, di Jayagiri, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Sisa-sisa Laboratorium Kina di zaman Hindia-Belanda menjadi sebuah taman, tak sedikit orang mengira Franz Wilhelm Junghuhn adalah seorang Belanda, yang meninggal dan dimakamkan di Jayagiri Lembang.

Padahal, dia adalah seorang asli Jerman, yang lahir di Mansfeld, 26 Oktober 1809. Ia, seorang romantikus Eropa yang sejak dini, cenderung berjarak dengan peradabannya sendiri.

Jughuhn, seorang Jerman, menjadi pegawai Kolonial Belanda pada kesempatannya. Ketika ia bekerja di Hindia-Belanda, kecintaannya pada bentang alam Priangan diabadikan dalam lukisan dan foto yang hidup.

Bahkan, nantinya Jughuhn membantu pengobatan pada wabah yang saat mewabah di Hindia-Belanda, yaitu Malaria dengan Kina yang ditanamnya di Lembang.

Jughuhn tak bisa menahan rindu pada Pulau Jawa saat dirinya sedang memulihkan sakitnya setelah 12 tahun bergulat di tanah Hindia-Belanda, sebagaimana ditulis oleh Muhammad Malik Ar-Rahiem, dalam tulisan Kerinduan Jughuhn pada Tanah Jawa, Jughuhn menulis:

Aku sangat ingat hutan di sana yang berhias warna hijau yang abadi, ribuan bunga dengan semerbak wangi yang tak pernah pudar.

Dalam pikiranku terdengar angin laut yang berdesir melewati rerimbun pohon pisang dan pucuk pohon kelapa.

Aku dengar gemuruh air terjun yang berundak turun dari dinding gunung tinggi di pedalaman negeri.

Seolah-olah aku sedang menghirup udara pagi yang dingin. Seolah aku sedang melangkah di depan pondok orang Jawa yang ramah.

Keheningan yang sunyi dari hutan belantara mengepungku dari segala sisi. Tinggi di langit di atasku terlihat kepakan kelelawar yang berkerumun, beterbangan kembali ke tempat mereka pulang di siang hari.

Perlahan kehidupan bergerak semakin dalam ke hutan. Burung merak berteriak berlomba saling pamer suara.

Monyet-monyet melanjutkan permainan mereka dan teriakannya menggema dalam sunyi hutan pegunungan, seolah membangunkan hutan dengan nyanyian paginya.

Ribuan burung benyanyi merdu. Bahkan sebelum matahari menampakkan warnanya di timur langit, puncak-puncak gunung telah menyala keemasan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan