Kasus Tewasnya Brigadir J seperti Kasus Pengusutan Perkara 6 Laskar FPI, KontraS: Ada yang Ditutup-tutupi!

JabarEkspres.com – Banyak kejanggalan dalam peristiwa baku tembak antar anggota polisi di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Ada dua kejanggalan. Pertama, peristiwa baku tembak tersebut mempunyai disparitas waktu yang lama semenjak pengungkapan ke publik.

Kedua, KontraS juga mengatakan bahwa kronologi baku tembak berubah-ubah yang disampaikan pihak kepolisian menyimpan hal yang janggal.

Adapun, peristiwa baku tembak di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo melibatkan Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J dan Bharada E. Kasus ini mendapat perhatian publik hingga sekarang.

Brigadir J tewas dalam kejadian itu, sedangkan Bharada E diamankan setelah peristiwa saling tembak.

Wakil Koordinator Badan Pekerja KontraS Rivanlee Anandar merasa rentetan kejanggalan menjadi indikasi kepolisian mau menutup-nutupi dan mengaburkan fakta kasus kematian Brigadir J.

Padahal, dalam pengungkapan suatu kasus, keterbukaan adalah hal yang penting. Pengungkapan fakta-fakta, misalnya.

Jika suatu kasus ditutup-ditutupi, kemungkinan kuat itu mengindikasikan sesuatu. Dugaan-dugaan bermunculan.

“Indikasi penting bahwa kepolisian terkesan menutup-nutupi,” kata Rivanlee melalui keterangan persnya, Kamis (14/7).

Alumnus Universitas Indonesia (UI) itu kemudian menyinggung tentang upaya menutup-nutupi kasus baku tembak itu seperti langkah kepolisian mengusut perkara ekskusi enam laskar FPI.

Dalam kasus enam lascar FPI silam, penjelasan-penjelasan yang ada bersifat blur. Baik pihak FPI maupun polisi mempunyai keterangan masing-masing. Tidak ada pegangan yang pasti untuk mengetahui apa sebenarya yang terjadi. Begitu juga dengan kasus baku tembak sekarang antar anggota polisi.

Menurut Rivanlee, dalam persidangan kasus penembakan enam laskar itu, waga sekitar lokasi kejadian diduga mengalami intimidasi oleh aparat.

Mereka, kata dia, dilarang merekam peristiwa dan bahkan diminta untuk menghapus dokumen hasil rekaman peristiwa penangkapan dan penembakan.

“Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Komnas HAM ketika memberikan keterangan di persidangan,” ungkapnya.

Selain itu, langkah menutupi kasus juga pernah terjadi dalam kasus penyiksaan terhadap mendiang Hermanto.

“Pihak Kepolisian juga terkesan menutupi kasus dengan menghalangi jenazah yang meninggal untuk dilihat oleh pihak keluarga,” ujar Rivanlee.*** (jpnn)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan