Sebaliknya, jika napi tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji selama masa percobaan yang diberikan, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah jaksa agung.
Terpisah, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebutkan, dalam KUHP sebelumnya tidak diatur soal perubahan hukuman mati di tengah jalan seperti RUU KUHP sekarang. Menurut dia, perubahan itu semestinya berada dalam kewenangan pengadilan.
”Kalau hukuman mati berubah itu sudah mengubah jenis hukuman, bukan mengurangi,” ujarnya.
Karena itu, Fickar lebih setuju jika hukumanmati dihapus sekalian ketimbang mengubah jenis hukuman dengan kebijakan administratif sebagaimana tertuang dalam RUU KUHP tersebut.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menyatakan bahwa hukuman mati memang masih tercantum dalam draf RUU KUHP. Hukuman itu dicantumkan karena dinilai masih dibutuhkan. Namun, kata dia, hukuman mati tersebut bisa berubah jika terpidana berkelakuan baik dalam penjara. ”Dari hukuman mati bisa berubah menjadi 20 tahun penjara. Itu pernah kami bahas,” kata dia ketika dihubungi kemarin.
Nasir melanjutkan, saat ini pembahasan RUU KUHP seperti mati suri. Sudah lama tidak ada pembahasan. Bahkan, DPR periode 2019–2024 belum pernah membahasnya. ”Istilahnya, la yahya wala yamut, tidak hidup dan tidak mati,” ujarnya.
Mandeknya RUU KUHP, kata dia, disebabkan pemerintah yang tidak mengajukan pembahasan lagi. Pemerintah malah mengajukan Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata. Padahal, menurut Nasir, RUU KUHP sebenarnya lebih penting.
Saat ini Komisi III DPR masih menunggu sikap pemerintah terkait dengan kelanjutan pembahasan RUU KUHP. Menurut dia, tampaknya, pemerintah enggan melanjutkan pembahasan RUU tersebut. Padahal, rancangan peraturan tersebut sangat penting. ”Kami ingin memperbaiki induknya (RUU KUHP, Red). Yang ada sekarang kan anak-anaknya,” ucapnya. (jawapos-red)