BANDUNG – Pelan tapi pasti, sosok Herry Wirawan si pelaku pencabulan terhadap 13 santriwati di Bandung, Jawa Barat, mulai diungkapkan warga sekitar pesantren. Herry Wirawan merupakan pemilik pesantren Madarul Huda Antapani atau Madani, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. Ketua RT setempat, Agus Supriatna, masih ingat betul ketika Herry Wirawan datang menemuinya untuk meminta surat keterangan domisili pada 2014 silam.
Herry datang mengaku utusan dari seseorang di Jakarta untuk mengelola sebuah bangunan rumah di Perumahan Antapani Sinergi.
Rumah itu akan dijadikan sebagai tempat penampungan anak yatim piatu.
“Jadi pemilik rumah (yang sekarang jadi pesantren) itu punya seseorang yang tinggal di Jakarta. Dia minta saya untuk kelola rumah itu, katanya mau cari pahala. Jadi silakan dipakai, misal untuk tempat mengaji,” kata Agus, pada Jum’at (17/12).
Ketua RT -nya mengatakan, Herry Wirawan datang menggunakan sepeda motor jadul dan bilang mau membuat semacam yayasan yatim piatu dengan jumlah anak yang tidak banyak.
Melihat ketulusan niat Herry yang sudah mendapat kepercayaan dari pemilik rumah, Agus kemudian memberikan izin kepada Herry untuk mengelola bangunan tersebut.
Tidak disangka, belakangan Herry Wirawan justru melakukan tindakan pencabulan kepada para santriwati yang masih di bawah umur.
“Suatu waktu saya pernah mampir ke rumah tersebut untuk membereskan saluran air yang rusak. Waktu saya ke rumah, yang keluar anak-anaknya. Saya tanya, “Bapak ada?”, tetapi dia (anak-anak) seperti ketakutan,” jelasnya.
Saat itu, Agus masih belum curiga. Sampai pada tiga bulan sebelum penangkapan, dua orang santriwati datang ke rumah Agus untuk kembali meminta surat keterangan perpanjangan domisili.
Agus melihat bentuk tubuh yang tak lazim untuk usia anak-anak.
“Saya lihat anak-anak itu kelihatan dari umurnya masih muda, tetapi seperti sudah ibu-ibu. Istilahnya sudah dijamah laki-laki, gak polos gitu,” terangnya.
Sejak 2015 sampai 2021, kata Agus, pesantren tersebut memang tidak banyak menggelar kegiatan keagamaan.
Penampakan dari luar seperti rumah biasa yang ada penghuninya. Tidak seperti pesantren yang biasanya padat dengan kegiatan keagamaan.
“Ya saya suka lihat, anak-anak menyapu di halaman rumah. Kalau misal terlalu lama di luar rumah, dibawa ke dalam. Orangnya tertutup, jarang bersosialisasi sama tetangga,” ungkapnya.