Dynamic Governance

Oleh : Ateng Kusnandar Adisaputra

DYNAMIC GOVERNANCE digagas oleh Boon Siong Neo dan Geraldine Chen (2007), merupakan sebuah konsep yang menekankan bagaimana bekerjanya berbagai kebijakan, institusi dan struktur yang telah dipilih sehingga dapat beradaptasi dengan kondisi ketidakpastian dan perubahan lingkungan yang cepat sehingga kebijakan, institusi dan struktur tersebut tetap relevan dan efektif dalam pencapaian keinginan  jangka panjang masyarakat.

Dalam tulisan ini, konsep dynamic governance akan dihubungkan dengan keberadaan perpustakaan menghadapi revolusi industri 4.0, dan era disrupsi. Karakteristik revolusi industri 4.0, diantaranya : berkurangnya peran manusia karena meningkatnya peranan mesin, ditandai dengan teknologi berubah dengan cepat, maka manusia harus selalu mampu untuk beradaptasi, terus belajar jika tidak ingin tertinggal. Era disrupsi teknologi cirinya adalah : digital talent gap semakin lebar, kecakapan sosial menjadi semakin penting akibat perkembangan pesat era social media.

Prinsip dynamic governance ditopang oleh prinsip 3 T, yaitu :

Pertama, thinking ahead (berpikir ke depan), dalam arti akan mendorong institusi pemerintah untuk menilai dan meninjau kembali kebijakan dan strategi sedang berjalan, memperbaharui target dan tujuan, dan menyusun konsep baru kebijakan yang dipersiapkan menyongsong masa depan.

Berkaitan dengan thinking ahead (berpikir ke depan), hal eksistensi perpustakaan, dimana masih rendahnya budaya literasi, inovasi, dan kreativitas. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, telah ditetapkan arah kebijakan dan strategi peningkatan budaya literasi, inovasi, dan kreativitas bagi terwujudnya masyarakat berpengetahuan. Yang selanjutnya dituangkan dalam program dan kegiatan prioritas peningkatan budaya literasi, mencakup : pengembangan budaya kegemaran membaca, pengembangan perbukuan dan penguatan konten literasi, peningkatan akses dan kualitas layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial.

Untuk itu, semua pihak harus berkomitmen dalam mendukung pencapaian target nilai budaya literasi pada tahun 2024 sebesar 71 point, dengan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimiliki : sumber daya manusia, sumber dana, dan ditopang dengan keberadaan teknologi.

Kedua, thinking again (mengkaji ulang), mengandung arti kaji ulang dilakukan terhadap hal-hal yang sudah terjadi mencakup pemanfaatan data, informasi-informasi baru, ukuran/standar yang telah ditentukan, warisan masalah dari suatu kebijakan atau program dan umpan balik yang diterima.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan