Begini Terapi Atasi Kecemasan Remaja Selama Pandemi Covid-19

Berbeda dari dua istilah tersebut, olahraga termasuk aktivitas fisik yang mempunyai ciri permainan, mempunyai aturan tertentu, dan mengandung unsur kompetisi, misalnya pada olahraga pertandingan basket atau bulu tangkis.

Listya mengatakan, semakin tinggi intensitas aktivitas fisik dan latihan fisik, semakin banyak manfaat yang didapatkan, namun bahaya dan risikonya juga semakin tinggi. Oleh karena itu, diperlukan penerapan prinsip BBTT yang merupakan akronim dari Baik, Benar, Terukur, Teratur.

Baik, artinya dimulai sejak dini sesuai dengan kondisi fisik, Benar, dilakukan secara bertahap dimulai dari pemanasan, dilanjutkan dengan latihan inti, dan diakhiri dengan pendinginan, kemudian Terukur berarti intensitas latihan sesuai zona latihan dengan denyut nadi latihan (DNL), dan Teratur yakni dilakukan 3-5 kali per minggu selang sehari untuk istirahat.

WHO merekomendasikan latihan fisik untuk anak dan remaja minimal 60 menit per hari (melakukan aktivitas fisik intensitas sedang hingga berat sepanjang minggu, sebagian besar adalah aktivitas aerobik), serta minimal 3 kali per minggu (melakukan aktivitas fisik intensitas berat untuk meningkatkan kekuatan otot dan massa tulang).

Sementara untuk screen time, dianjurkan maksimal 2 jam per hari. Waktu duduk yang lama juga perlu dihentikan setiap 30-60 menit. Listya mengajurkan berdiri dan peregangan selama 1 menit. Untuk waktu tidur, tidur berkualitas baik.

“Konsistensi dan motivasi yang berkelanjutan dapat ditingkatkan dengan dukungan teman sebaya, keluarga dan platform elektronik yang menawarkan banyak program latihan,” tutur Listya.

Selain itu, pemilihan jenis aktivitas dan latihan fisik selama masa pandemi tetap harus selalu didasarkan pada minat dan usia. Listya mengatakan, dengan tetap aktif bergerak selama masa pandemi akan mengurangi stres, meningkatkan imunitas, dan menjaga kebugaran tubuh.

Terkait masalah kesehatan fisik dan mental yang dialami remaja pada masa pandemi Covid-19, dokter spesialis ilmu kesehatan jiwa konsultan kesehatan jiwa anak RSUI sekaligus staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Fransiska Kaligis, Sp.KJ(K) berpendapat hal ini disebabkan akumulasi berbagai faktor.

Faktor ini antara lain stres atau tekanan takut akan terinfeksi penyakit, rasa takut kehilangan anggota keluarga, masalah ekonomi, kehilangan dukungan keluarga, hilang kesempatan pergi berlibur atau keluar rumah, akses terbatas ke fasilitas layanan kesehatan, kurangnya sosialisasi antar teman, serta kurangnya akses ke sekolah dan fasilitas olahraga.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan