Tantangan Bawaslu di Pemilu 2024

Dampaknya bukan hanya membingungkan pemilih, tapi juga tidak menimbulkan rasa keadilan. Pada sanksi pidana yang dasarnya ultimum remidum ditarik menjadi penegakkan hukum di awal.

Begitu juga pada isu krusial kewenangan, terdapat perbedaan mendasar terkait UU Pemilu dan UU Pilkada. Misalnya, batas waktu penanganan pelanggaran dalam pemilu itu 7+7 dan hari kerja, tapi di Pilkada sangat singkat hanya 3+2 dan itu hari kalender. Ini adalah salah satu krusial, ada regulasi berbeda dalam rentang waktu yang sama.

Berdasarkan catatan Bawaslu, pada Pemilu serentak 2024 mendatang akan terdapat tahapan yang beririsan yakni sepanjang November 2023 – Januari 2024. Selain itu, ada juga tahapan yang padat yang bersamaan dengan pemilihan yakni di bulan Oktober 2022 hingga Juli  2023 (10 Bulan).

Pada rentang waktu tersebut setidaknya ada 5 tahapan yang berdempetan, yakni verifikasi partai politik, penyelesaian sengketa partai politik, pembentukan badan penyelenggara, pemutakhiran Daftar Pemilih, penataan dan penetapan Daerah Pemilihan, Pencalonan dan Penyelesaian Sengketa Pencalonan.

Tantangan

Pada sisi internal, Bawaslu perlu melakukan refleksi atas kelembagaan yang diembankan. Pertama, di Bawaslu Provinsi Jawa Barat sendiri akan terjadi berakhirnya masa jabatan Bawaslu Provinsi akan bertepatan dengan periode  puncak  penyelenggaraan tahapan Pemilu dan Pemilihan akhir masa jabatan. Di Bawaslu kabupaten/ kota juga sama, berakhirnya masa jabatan Bawaslu kabupaten/kota akan bertepatan dengan periode puncak penyelenggaraan tahapan Pemilu dan Pemilihan 2024.

Salah satu tugas Bawaslu adalah melakukan pencegahan. Sebenarnya fungsi pencegahan ini buan menjadi hak eksklusif Bawaslu, tapi juga dimiliki seluruh elemen masyarakat. Sehingga tak salah tagline yang diusung Bawaslu yakni “Bersama Rakyat Awasi Pemilu”, karena Bawaslu ingin menempatkan pencegahan terbaik berada di rakyat.

Desain keterlibatan pengawas partisipatif yang Bawaslu canangkan adalah Semakin banyak pengawasan di lingkungan terdekatnya, semakin banyak mata dan telinga yang mengawasi, maka dugaan pelanggaran semakin sedikit. Desain pengawasan partisiatif itu di antaranya melalui Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) yang telah berjalan sejak tahun 2019.

Adapun, Gerakan Masyarakat untuk Pengawasan Partisipatif (Gempar) baik melalui rembuk warga seperti kader PKK dan Posyandu, kondolidasi bersama pemantau Pemilu, penyusunan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP), pojok pengawasan, aplikasi Gowaslu untuk memudahkan publik memberikan informasi awal dugaan pelanggaran, bahkan melalui kerja sama dengan kampus dalam bentuk KKN tematik pengawasan partisipatif, hingga rekruitmen jajaran pengawas ad hoc.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan