Ada Risiko di Balik Penekanan Harga Tes PCR, Ini Kata Pengamat

JAKARTA – Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menyatakan penekanan harga tes PCR hanya akan efektif jika pasokan berlimpah dan semua komponen biaya diketahui oleh pemerintah.

“Permintaan untuk tes PCR kini sudah pasti tinggi, jadi jalan menekan harga adalah dengan memastikan berlimpahnya pasokan. Karena Indonesia tidak memproduksi PCR dan sepenuhnya bergantung pada impor, perlu ditinjau apakah kondisi bottleneck ini terjadi karena jumlah importir yang terlalu sedikit,” kata dia dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (22/8).

Andree menyebut kebijakan mematok harga bisa memicu kelangkaan tes PCR. “Jika harga patokan terlalu tinggi, tentu ada membatasi jumlah konsumen tetapi kalau terlalu rendah, supplier bisa mundur sehingga terjadi kelangkaan atau bahkan terbentuknya pasar gelap,” beber dia.

Menurutnya, pelibatan BUMN dalam importasi komponen PCR merupakan solusi jangka pendek. Pengambilalihan oleh BUMN juga dapat meningkatkan risiko disrupsi dan bottleneck karena jalur masuk pasokan menjadi sempit.

Sebab, mengikuti harga patokan pemerintah kemungkinan membuat pengusaha rugi. “Harga bisa saja kelihatan murah, tetapi tiba-tiba tidak ada stok kalau jalur yang cuma satu itu terdisrupsi. Malah kita perlu lebih banyak importir untuk mengurangi risiko disrupsi dan menekan harga,” katanya.

Namun, Andree menyebut tidak mudah untuk menilai efektivitas kebijakan ini tanpa informasi lengkap mengenai komponen biaya.

Oleh karena itu, dia berpesan, pemerintah perlu juga memperhatikan reaksi pasar.

“Jika setelah harga dipatok malah banyak lab yang tidak menawarkan PCR lagi atau terjadi kelangkaan PCR, berarti harga tersebut tidak bisa menutupi biaya lab,” katanya.

Andree menuturkan solusi paling aman adalah menambah pasokan dengan memperbanyak jalur impor.

Dia menambahkan untuk jangka menengah dan panjang, solusi yang dibutuhkan adalah menarik investasi pada manufaktur alat kesehatan dalam negeri.

Selama ini, Andree menyebutkan berdasarkan data terakhir dari Kementerian Keuangan terlihat masih lemahnya testing dan tracing. Anggaran yang dikucurkan hanya sebesar Rp 4,0 8 triliun dari total anggaran penanganan Covid-19 2021 sebesar Rp 185,98 triliun.

“Jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan alokasi vaksinasi sebesar Rp 58 triliun dan Rp 59,1 triliun untuk pengobatan,” kata Andree. (mcr10/jpnn)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan