Semakin Besar, Tapi Kemampuan Negara Bayar Hutang Rendah

Bhima mengkritisi, kesalahan tata kelola utang Indonesia adalah melepas surat utang negara (SUN) ke investor asing. Masalahnya kepemilikan investor asing lebih besar ketimbang investor lokal. Sehingga, ketika terjadi krisis, lalu investor asing menjual SUN tersebut maka akan menyebabkan capital outflow. Nilai tukar rupiah melemah dan sistem keuangan akan terguncang.

“Jadi Indonesia dalam sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah harus hati-hati,” jelasnya.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kurang prudent (hati-hati) dalam mengelola utang. Dia khawatir jika kondisi ini terus berlanjut akan berimbas terhadap crowding out effect. Yakni, pemerintah sangat agresif menerbitkan surat utang.

Apalagi menjelang tapering off bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve. Situasi tersebut justru akan menyedot likuiditas di dalam negeri. Ujung-ujungnya akan menghambat investasi swasta. Karena harus membayar cost of fund lebih mahal.

Menurut Bhima, cara agar utang tidak semakin membengkak adalah dengan merestrukturisasi utang terhadap para kreditur. Bahkan sampai penangguhan pembayaran bunga utang. Mengingat, International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia menawarkan kepada negara-negara terdampak pandemi untuk melakukan renegosisasi penangguhan pembayaran bunga utang.

Kesempatan itu terbuka bagi Indonesia. Karena berhak juga untuk mendapat fasilitas itu. “Indonesia bisa melobi para kreditur khususnya yang berbentuk pinjaman atau loan itu untuk penangguhan pembayaran bunga utang sampai 2023. Jadi kita bisa lebih banyak berhemat,” ungkapnya.

Pemerintah juga bisa menaikkan rasio pajak. Terutama mengejar kepatuhan wajib pajak kakap. Sehingga, terbentuk reformasi pajak yang adil.

Terakhir, pemerintah bisa melakukan skema debt swap untuk mengurangi beban utang. Yakni, menukar beban utang dengan program. Asalkan disetujui oleh kreditur.

Indonesia pernah waktu tsunami Aceh 2004. Pemerintah menukar rekontruksi pasca bencana dengan pengurangan beban utang pinjaman dari Jerman. Melihat potensi Jerman yang fokus dengan pendidikan, Indonesia mengurangi utangnya dengan harus membelanjakan lebih banyak di sektor pendidikan.

“Jadi pemerintah harusnya punya kreativitas untuk itu. Nah ini sekarang nggak kreatif,” pungkasnya.

Terpisah, anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyoroti, utang yang tumbuh namun berbanding terbalik terhadap penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi. Kondisi itu membuat Indonesia semakin terjebak dalam utang.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan