Sudah menjadi tradisi, Jelang Hari Raya Idul Fitri masyarakat biasanya memburu uang baru untuk digunakan pada saat lebaran nanti.
Penukaran uang baru sebetulnya sudah difasuilitasi di bank-bank yang ditunjuk pemerintah. Akan tetapi karena kebutuhan uang baru meningkat maka, warga pun memanfaatkan penukaran uang baru itu dengan menjualnya.
Warga biasanya menyediakan jasa tersebut di pinggir-pinggir jalan menjelang hari raya. Akan tetapi, kebiasaan penukaraan uang baru ini selalu menjadi pembicaraan hangat dikalangan para ulama di Indonesia.
Menukar dengan membeli uang baru, jika ditinjau secara aturan syariat harus menjadi rujukan. Sebabbanyak ulama yang mengharamkan praktik tukar-menukar uang rupiah karena terdapat riba di dalamnya.
Dalam fikih muamalah, ada enam barang ribawi yang terisi dalam sebuah hadits:
الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan gandum, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai ” (HR. Muslim 4147).
Dari hadits tersebut, klasifikasi barang ribawi menjadi dua bagian. Pertama, naqd yaitu emas dan perak. Kedua, math’umat (makanan) yaitu gandum syair, gandum bur, kurma, dan garam.
Di dalam jual beli barang ribawi, jika mengurus persyaratan: [1] sama takaran / timbangannya, [2] tunai. Apabila emas 1 gram ditukar dengan emas 1,5 gram, maka di situ terjadi riba fadli ( fadli : lebih). Apabila pembayaran tidak dilakukan tunai, maka terjadi riba nasiah .
Jika kita menganggap bahwa uang rupiah sama dengan emas dan perak, dengan begitu disamakan dengan rumpun naqd, maka praktik tukar uang menjelang lebaran tidak dibolehkan.
Karena kita tahu bahwa para pedagang uang di tepi jalan (bukan di Bank Indonesia) yang membundel uangnya 10 ribu x 10 lembar tidak bisa dibeli dengan uang 100 ribu, namun lebih. Bisa jadi 110 ribu bayarnya. Atau mungkin 95 ribu dibeli dengan harga 100 ribu.
Pendapat ini didasarkan bahwa ‘illat dalam naqd ialah muthlaquts tsamaniyah (mutlak harga). Emas dan perak merupakan dua benda yang dijadikan harga pada waktu itu. Nilai uang berasal dari nilai nominalnya (10 ribu misalnya), bukan dari nilai intrinsik (kertasnya atau logamnya).