Tukar Uang dengan Membeli Apakah Termasuk Riba?

Apapun yang dijadikan harga, maka ia mengandung riba. Oleh sebab itu, uang kertas pada masa kini yang memiliki fungsi yang sama juga dikenai hukum yang sama. Yakni termasuk barang ribawi dan wajib dizakati. (Fiqh al-Mu’amalat, III, 479)

Tidak diperbolehkan menukar uang dengan uang atau naqd dengan model nasiah alias tidak tunai, karena termasuk barang ribawi. Bila dari jenis yang sama, misalnya rupiah dengan rupiah, tidak boleh ada kelebihan.  Satu mata uang dianggap sebagai satu jenis. Apabila rupiah ditukar dengan dolar, tidak masalah jika ada lebih karena sudah beda jenis. Demikian keputusan Majlis Perkumpulan Fikih Liga Dunia Muslim di Makkah. (Fiqh al-Mu’amalat, III, 479)

Pendapat kedua memandang bahwa ‘illat dalam naqd ialah ghalabatuts tsamaniyah (dominan harga). Dengan begitu, uang yang kita kenal sekarang tidak bisa disamakan dengan naqd, sekaligus bukan barang ribawi. Karena pada zaman dahulu, emas tetap ribawi sekalipun ia ditukar sebagai harga maupun sebagai emas (bahkan yang belum dibentuk atau dicetak menjadi mata uang). (Hasyiyah al-Bujairami alal Khathib, VII, 339)

Dahulu emas dicetak menjadi uang yang disebut dengan dinar. Sekarang, dinar juga menjadi nama mata uang Irak, namun terbuat dari kertas sebagaimana uang pada umumnya.

Maka, dinar emas sering disebut dinar syar’i. Sementara perak diolah menjadi dirham yang mana kini ‘dirham’ juga menjadi mata uang di berbagai negara Timur Tengah.

Lalu dirham perak disebut dengan dirham syar’i. Dikarenakan emas dan perak sangat kecil penurunan nilainya atau sering disebut 0% inflasi, maka nilai uang pada zaman dahulu relatif stabil bahkan setelah puluhan tahun.

Dengan penjelasan tersebut, uang sekarang berbeda dengan uang dulu. Unsur ribawi dalam emas tidak ada di dalam uang kertas yang kita pakai sehari-hari. Selain ‘illat di atas, ada satu versi menyebutkan bahwa ’illat-nya ialah jauhariyatuts tsaman (harga yang terbuat dari permata). Dengan begitu uang kertas tidak termasuk barang ribawi. (I’anatut Thalibin, III, 13).

Lalu bagaimanakah solusinya?

Jika mengambil pendapat yang pertama, umumnya ulama memberi solusi dengan menggunakan akad lain, bukan akad bai’ (jual beli) melainkan wakalah bil ajr (perwakilan dengan upah) atau ijarah (pekerjaan dengan upah). Maksudnya, penjual telah mengantre di Bank Indonesia, menjajakan dagangannya di tepi jalan, dan usaha-usaha lainnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan