Ever Matematika

PENDUDUK desa di tepi Terusan Suez itu punya tebak-tebakan baru: apa saja isi kontainer di atas kapal Ever Given yang terdampar di dekat rumah mereka itu.

Sejak Selasa pagi lalu salah satu kapal terbesar di dunia itu menjadi warga baru desa Manshiyet Rogola. Itulah desa yang berada di bibir Terusan Suez.

Selasa pagi lalu semua penduduk desa keluar rumah. Mereka lari ke pinggir Terusan Suez. Mereka mendongak sambil terkagum-kagum: begitu tinggi tumpukan kontainer di atas kapal itu.

Petugas desa melarang mereka merangsek terlalu dekat. Tapi kapal itu –saking besarnya–sudah seperti sedang parkir di halaman mereka.

Itulah desa terdekat dengan kapal yang buritan dan haluannya tertancap di bagian dangkal pinggiran terusan Suez, Mesir. Desa itu sangat miskin. Jalan-jalannya masih tanah berpasir. Persis tanah yang ada di tepi sungai buatan itu.

Mereka ada yang bermimpi: kalau satu saja kontainer itu diturunkan di desa itu, dan kontainer itu berisi kulkas, maka penduduk satu desa akan berkulkas semua.

Padahal di atas kapal itu terdapat 20.000 kontainer ukuran 40 feet.

Pun kalau penduduk diperbolehkan mengambil satu saja, mereka tidak akan bisa menurunkannya. Kontainer paling atas di kapal itu lebih tinggi dari pohon kurma tertinggi yang ada di desa itu.

Sepanjang Selasa siang itu mereka terkagum-kagum akan besarnya kapal yang tertancap di desa mereka. Yang panjangnya 400 meter. Lebarnya 59 meter.

Dan ketika senja telah tiba kekaguman itu bertambah-tambah. Apalagi ketika hari mulai gelap. Tiba-tiba saja desa itu seperti bertetangga dengan kota besar metropolitan. Yang lampu-lampunya bergemerlapan. Begitu banyak dan terang lampu-lampu penerangan di kapal itu.

Saya pernah menikmati pemandangan seperti itu. Dulu kala. Di Samarinda. Ketika malam tiba saya sering duduk-duduk di tepi sungai Mahakam. Dari tepian sungai yang gelap itu kami memandang ke tengah sungai: begitu banyak kapal besar terapung di tengah sungai.

Itulah kapal-kapal Jepang pengangkut emas hijau –kayu-kayu dari hutan Kaltim. Cahaya lampunya begitu gemerlapan. Apalagi banyak yang memantul di permukaan air Mahakam. Listrik kota Samarinda yang waktu itu begitu redupnya seperti diejek oleh cahaya kapal-kapal asing itu.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan