Nulungan Anjing Kadempet dalam Dinamika Politik Indonesia

Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hierarkis. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan berdasarkan tingkatan dan kedudukan. Dalam persepsi pada saat itu, kalaulah memungkinkan, para Menko itu adalah dianggap orang yang paling dipercaya oleh presiden, dan berhubung kedudukan presiden yang diemban oleh Mbak Mega juga baru hanya meneruskan sisa periode Gus Dur, harapannya diberi kesempatan untuk melanjutkan sampai batas ketentuan 2 periode, atau paling tidak satu periode lagi.

Meskipun dalam kasus pencapresan yang dilakukan oleh pasangan SBY dan Jusuf Kalla, tidak ada yang salah, karena di negara demokratis, siapapun boleh mengajukan jadi presiden, asal didukung oleh suara partai diatas 20 persen, lebih pada kebiasaan untuk bertindak sesuai hierarki, dan bagi Mbak Megawati, terasa seperti nulungan anjing kadempet, sama seperti yang dirasakan oleh keluarga Soeharto kepada Muchdi PR, Amien Rais kepada Zulkifli Hasan, dan SBY kepada Moeldoko.

Di samping itu, gonjang-ganjing politik di tahun 2020-an ini, telah membuka mata kita bahwa partai-partai politik yang berasaskan nasionalis, meskipun didirikan untuk mengakomodir kepentingan individu tertentu sebagai kendaraan politik, lambat laun akan menjadi partai yang berbasis massa, dan kepemimpinanpun akan bergeser dari ketaklidan kepada founding fathers ke arah kepentingan partai pada saat itu.

Apa yang menimpa Wiranto di Hanura, Tommy Soeharto di partai Berkarya, Amien Rais di PAN, klan SBY di Demokrat, atau sebelumnya Gus Dur di PKB, menunjukkan gejala tersebut, dan bisa jadi akan menimpa partai-partai lain yang didirikan oleh individu seperti Gerindra dan Perindo.

 

Tinggalkan Balasan