Nulungan Anjing Kadempet dalam Dinamika Politik Indonesia

Peristiwa serupa tapi tak sama menimpa Partai Amanat Nasional (PAN). Hiruk pikuk dalam partai berlambang matahari terbit  ini diawali ketika Amien Rais tidak lagi mendapat jabatan resmi di struktural partai.

Posisi Amien Rais sebagai Ketua Dewan Kehormatan digantikan Soetrisno Bachir, kondisi ini memunculkan amarah dari loyalis Amien Rais, karena pandangan mereka, kemunculan PAN identik dengan Amien Rais.

Indikator perpecahan PAN begitu kuat, di antaranya ada tuduhan dari kubu Amin Rais dan Mulfachri bahwa Kongres PAN di Kendari brutal dan curang, lalu ada indikasi intervensi dari pihak lain, serta kelompok Amien Rais dan Mulfachri disingkirkan dari kepengurusan DPP PAN periode 2020–2025.

Dan pada akhirnya, muaranya adalah dukungan Zulkifli Hasan kepada Presiden Jokowi, dan Amien Rais tidak setuju dengan sikap tersebut, dan kemudian mendirikan partai UMMAT.

Kasus yang terjadi pada partai Demokrat di tahun 2021 ini, memiliki kemiripan dengan yang menimpa partai Berkarya pada tahun 2020.  Posisi AHY berada dalam konteks seperti poisisi Tommy Soeharto, dimana kedua-duanya merupakan pimpinan partai dan putra dari mantan presiden, dan kemudian kekuasaannya diambil alih oleh orang-orang kepercayaan orang tuanya, melalui Munaslub atau KLB.

Bagi Pak SBY bisa jadi dianggap sebagai karma, oleh pihak pendukung Megawati, karena pada saat beliau menjadi presiden menggantikan posisi Gus Dur, ikut membesarkan nama sekaligus menaruh kepercayaan penuh kepada dua orang Menkonya, yaitu Menkopolkam SBY dan Menkoekuin Jusuf Kalla, dan diharapkan memberikan dukungan penuh pada pencalonannya sebagai presiden periode berikutnya.

Namun apa mau dikata, kedua orang kepercayaannya dalam mengelola negara, sehingga ditunjuk menjadi Menko, justru berpasangan menghadapinya dalam kontestasi Pemilu. Dan yang membuat Mbak Mega tidak bisa menerima kenyataan adalah, dia dikalahkan oleh orang yang diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola negara.

Meskipun dalam konteks ini tidak ada perebutan kekuasaan, melainkan sebuah persaingan untuk memperebutkan kekuasaan secara demokratis melalui pemilu, namun tetap saja bagi pihak Megawati, dianggap sebagai tindakan nlikung.

Hal ini mengacu pada budaya politik patronage yang berlaku pada budaya politik Jawa, bahwa bawahan atau orang yang diberikan pekerjaan tidak pantas melawan atasan atau orang yang memberi pekerjaan.

Tinggalkan Balasan