JAKARTA – Sejumlah alasan dikemukakan agar pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan. Pejabat Sementara (Pjs) yang menduduki posisi kepala daerah selama dua tahun dianggap tidak efektif. Perlu kepemimpinan yang definitif di masa pagebluk.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini misalnya. Ia mengusulkan agar pelaksanaan pilkada dapat dinormalisasi pada 2022 dan 2023 dan tidak dikumpulkan semua (serentak) di tahun 2024. Alasan Fraksi PKS, supaya ada kepemimpinan yang defenitif dan tidak terlalu panjang masa jabatan Pjs.
Anggota Komisi I DPR ini melanjutkan, penyelenggaraan pilkada di 2024 berdekatan dengan pemilu presiden dan wakil presiden. Termasuk pemilu legislatif. Hal ini akan menimbulkan beban ekonomi dan politik yang besar serta beban juga bagi penyelenggara untuk fokus mempersiapkannya.
Ruang bagi rakyat untuk mendalami visi misi dan program para calon kepala daerah tidak akan optimal. Karena dipastikan akan tersedot pada isu capres-cawapres seperti pengalaman yang sudah-sudah. Padahal kepemimpinan daerah ini tidak kalah strategis dan berhubungan langsung dengan pelayanan dan kesejahteraan rakyat.
Di samping itu, lanjut Jazuli, dengan pilkada dipisah dari pemilu presiden-wapres akan memperluas stok calon pemimpin nasional tersebut yang datang dari kepala-kepala daerah yang dinilai sukses oleh rakyat. “Tentu ini bagian strategis yang harus kita pikirkan bersama,” ujarnya Jazuli.
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan, jika pelaksanaan Pilkada di 2024, akan sangat berat bagi penyelenggara pemilu. Pelaksana tugas Ketua KPU Ilham Saputra menegaskan, berkaca dari pengalaman 2019 lalu, banyak KPPS yang merasa kelelahan dan tugasnya tidak selesai.
“Banyak form C1 yang tidak selesai di tingkat KPPS. Karena mereka kelelahan dan akhirnya meninggal dunia. Hal ini harus jadi pembelajaran kita bersama,” terangnya, Selasa (2/2).
Termasuk memberkan pendidikan bagi pemilih. Jika Pilkada dan Pilpres dilakukan pada 2024, ada kekhawatiran jika pemilih merasa jenuh. “Apakah masyarakat tidak jenuh, bagaimana kalau jenuh. Ini harus menjadi catatan kita bersama,” tambah Ilham.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid ikut menyoroti ambang batas presiden. DPR dan Presiden harus meninjau kembali soal besaran pengaturan ambang batas pencalonan presiden.