JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan melakukan pemeriksaan proses pengadaan dan distribusi vaksin COVID-19 untuk menjaga agar implementasi kebijakan tersebut berjalan sesuai dengan regulasi dan tata kelola.
“Sesuai dengan mandat, kami akan melaksanakan pemeriksaan untuk memastikan bahwa kegiatan pengadaan dan distribusi vaksin COVID-19 telah dilaksanakan secara transparan dan akuntabel sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan,” kata Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam pernyataan di Jakarta, Sabtu, (9/1).
Agung mengungkapkan hal tersebut usai melakukan pertemuan dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk membahas pengadaan dan distribusi vaksin COVID-19, pada Jumat (8/1), seperti dilansir dari Antara.
Diskusi dalam pertemuan yang diselenggarakan atas permohonan audiensi dari Kementerian BUMN ini, juga meliputi berbagai permasalahan yang terindikasi sebagai risiko dalam kegiatan pengadaan dan distribusi vaksin.
“Permasalahan tersebut meliputi antara lain risiko finansial dalam pengadaan dan distribusi vaksin serta isu-isu yang berkembang di masyarakat terkait keamanan, efikasi, dan efek samping, serta pelaksanaan distribusi vaksin kepada masyarakat melalui kerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Rumah Sakit,”papar Agung, dikutip dari Antara.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, pemerintah sudah menyiapkan 426 juta vaksin COVID-19 untuk sekitar 181 juta jiwa penduduk Indonesia.
Pengadaan vaksin itu antara lain berasal dari perusahaan farmasi Tiongkok Sinovac sebanyak 125,5 juta dosis, pabrikan vaksin Amerika Serikat-Kanada Novavax sebanyak 50 juta dosis serta kerja sama multilateral WHO dan Aliansi Vaksin Dunia (Covax-GAVI) sebanyak 50 juta dosis.
Menurut rencana, gelombang pertama vaksinasi dilakukan pada Januari-April 2021 dengan rincian untuk 1,3 juta orang petugas kesehatan di 34 provinsi, 17,4 juta petugas publik dan lansia sebanyak 21,5 juta orang.
Selanjutnya, pada gelombang kedua pada April 2021-Maret 2022 yaitu 63,9 juta masyarakat di daerah dengan risiko penularan tinggi dan sebanyak 77,4 juta bagi masyarakat lain dengan pendekatan klaster sesuai ketersediaan vaksin. (antara)