Kaya Semarang

Itu karena apa boleh buat. Tidak ada lagi kamar kelas 2. Apa lagi kelas 1. Lebih lagi VIP. Orang yang terkaya di antara empat itu harus meninggal di kelas 3 itu juga.

Ia tidak sendirian.

Salah satu wanita di perkumpulan itu juga meninggal di kelas 3 yang sama.

Dia janda. Sudah agak tua. Anak sulungnya yang satu rumah pun tidak boleh menengoknyi. Demikian juga tiga anak lainnya.

Ketika wanita tersebut meninggal si anak hanya bisa menyerahkan sepenuhnya jasad ibunya itu ke rumah sakit. Untuk dikuburkan oleh pihak rumah sakit. Tanpa kehadiran siapa pun.

Anak-anaknya itu tentu menangis. Amat sedih. Bagaimana bisa ibunya sakit keras tanpa bisa menungguinya.

Dan ketika meninggal tidak bisa di sampingnya. Bahkan ketika dimakamkan tidak bisa mengantar ke makamnya.

Untungnya sang ibu bisa dimakamkan di pemakaman Tionghoa di Ungaran. Anak-anaknya yang memohon itu ke rumah sakit. Dengan mengganti seluruh biaya. Berapa pun.

Sang anak bukan tidak mencintai sang ibu. Tapi tidak boleh. Pasien yang meninggal karena Covid-19 punya prosedur pemakaman sendiri.

Tapi sang anak juga takut tertular. Lalu harus masuk rumah sakit. Lebih-lebih mereka takut dengan sal kelas 3 itu.

Kalau sampai ia datang ke rumah sakit berarti ia harus mengaku: ia tinggal serumah dengan almarhum. Berarti ODP.

Ia membayangkan –yang sebenarnya salah– begitu dinyatakan ODP harus masuk rumah sakit. Lalu tidak mendapat kamar yang bagus. Ia harus masuk kelas tiga seperti yang lainnya. Lalu meninggal dunia.

Bayangan itu membuat ia memutuskan: pilih di rumah saja. Tidak perlu muncul di RS. Biarlah ibunya diurus oleh pihak RS.

Ia pun pilih mengarantina diri di rumah. Bersama istri, anak, dan pembantu. Total ada 6 orang di rumah itu.

Para tetangga sangat baik. Mau membantu. Mereka menyiapkan semua keperluan yang lagi isolasi. Dengan cara menyiapkan makanan yang diminta.

Setiap waktu makan tiba sang tetangga meletakkan makanan di depan rumah. Begitu si tetangga pergi ia ambil makanan itu.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan