Tapi, normalnya, obat itu masih harus melewati banyak uji coba lagi. Terutama untuk menentukan ada tidaknya efek samping dan serapa banyak dosis yang diperlukan.
Mayjen Chen Wei, ilmuwan wanita yang mengepalai proyek penemuan obat Covid-19 itu Sabtu kemarin memberikan keterangan baru.
Percobaan lanjutan sudah dilakukan kepada relawan dari tiga kota: Wuchang, Hongshan, and Donghu Scenic Area. Semuanya di sekitar Wuhan.
Percobaan itu dilakukan dalam tiga kelompok. Yakni kelompok dosis rendah, dosis sedang, dan dosis tinggi. Masing-masing kelompok 26 orang relawan.
Yang di Amerika baru dicoba minggu lalu. Terhadap 45 orang relawan yang berbadan sehat. Sama dengan yang di Tiongkok: disuntikkan di lengan atas.
Relawan yang sama masih akan dijadikan uji coba kedua: sebulan setelah penyuntikan pertama. Lalu diajukan perizinannya ke FDA –yang biasanya paling cepat 1 tahun.
Akhirnya Trump tahu yang digembar-gemborkannya itu obat malaria zaman dulu. Lantas apa komentarnya?
“Setidaknya sudah diketahui tidak ada yang meninggal akibat obat itu,” katanya.
Seandainya saya terkena Covid-19 dan dokter hanya bisa memberikan Hydrochloroquine-nya Trump atau Avigan-nya Jokowi, saya pun akan meminumnya.
Daripada tergeletak begitu saja di rumah sakit sampai tahun 2021 –saat obat anti Covid-19 dijual kepada masyarakat.
Tapi mengapa saya ikut bicara itu? Seolah itu yang terpenting?
Bukankah yang terbaik adalah mencegah jangan kian banyak yang terkena Covid-19? Dokter yang ada sudah kelelahan. Demikian juga perawat.
Bagaimana kalau pasien bertambah terus? Dalam jumlah besar?
Ampuuuuuuun… Dok. Kami seperti sengaja membuat kalian gemetaran menghadapi hari-hari depan. (dahlan iskan)