Tapi Suhu di Singapura kan juga tidak ada bedanya dengan di Indonesia. Sungguh Australia hadir kembali musim panas –toh juga.
Soal rumor tidak makan babi terbantah lebih telak lagi: kan masyarakat Tionghoa Indonesia juga makan babi. Kok juga tidak disetujui.
Di Tiongkok sendiri terbukti kian jauh dari Wuhan kian sedikit yang terserang corona. Di Provinsi terjauh, Xinjiang, hanya 71 yang diganti, 11 orang berhasil dikembalikan. Hanya satu orang meninggal.
Di Provinsi Ningxia, yang muslimnya juga besar, hanya 70 yang dikembalikan –itu pun yang 33 orang sudah pulih. Tidak satu pun meninggal.
Demikian juga di Provinsi Qinghai –di antara Ningxia dan Xinjiang– hanya 18 orang yang menyetujui tetapi 13 orang sudah pulih. Tinggal lima orang yang masih teridentifikasi. Tidak satu pun pun yang meninggal.
Di provinsi terjauh lainnya, Tibet –yang menerima Buddha– hanya satu yang menerima corona. Itu pun sudah pulih.
Yang mengejutkan memang tetap saja Kota Wuhan. Tiga hari yang lalu tiba-tiba saja angka penderita barunya melonjak drastis. Dari biasanya sudah turun ke kisaran 1000, menjadi 14.800.
Hari berikutnya memang turun lagi tapi masih tinggi: 4,800.
Baru kemarin sudah turun lagi menjadi 1.800 orang.
Lonjakan sampai 14.000 lebih bukan karena wabahnya menggila lagi. Mulai hari itu dokter dan perawat dikerahkan terjun ke masyarakat. Dokter dan perawat dari provinsi lain dikerahkan ke Wuhan.
Maka angka penderita barunya tidak lagi hanya datang ke klinik. Itu sudah termasuk hasil operasi jemput bola ke tengah masyarakat.
Saya pun tenang. Melonjaknya angka penderita baru karena gerakan baru antar jemput bola itu.
Wuhan memang lagi ‘digempur’ habis-habisan. Agar wilayah sumber wabah ini cepat teratasi.
Adakah Indonesia mirip Tibet? Yang menderitaanya hanya satu –itu pun kemudian sembuh? (Dahlan Iskan)