Lebih jauh Marlan menjelaskan salah satu aturan pendirian USP itu harus berbadan hukum. Seperti koperasi atau BPR (Bank Perkreditan Rakyat).
”Beberapa usaha yang dilakukan bank emok atau rentenir atau apapun namanya, itu kan rata-rata tidak berizin. Jadi harus dikaji lebih dalam, sejauh mana legalitasnya. Jadi tidak bisa misalnya seorang ketua RW memberikan izin usaha, karena dia bukan lembaga negara,”ujarnya.
Namun berkaca dari pengalaman, keberadaan USP tidak pernah bertahan lama. Seringkali masalah timbul dari sisi pembayaran pinjaman. ”Beberapa koperasi atau USP berdasarkan pengalaman, tidak lama eksisnya. Biasanya diakibatkan tidak berjalan lancar dari sisi pembayaran dari peminjam. Makanya Pak Bupati sudah menitipkan anggaran USP atau KIK (Kredit Usaha Kecil) di BPR dengan bunga ringan, tentunya disertai dengan agunan,” tambahnya.
Menyikapi hal ini, pihaknya akan terus mendorong eksistensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk melawan praktik rentenir ini dengan membuat unit USP. ”Namun kami titip pesan untuk seluruh masyarakat, setelah USP ini terbentuk, harus dirawat dan masyarakat harus merasa memiliki. Karena keberlangsungan sebuah USP, terletak pada kelancaran perputaran uangnya,”pungkasnya.(yul/rus)