KUHP Peninggalan Kolonial Belanda

JAKARTA – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Bambang Soesatyo menegaskan jika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah peninggalan kolonial Belanda dan masih saja digunakan, padahal Indonesia sudah merdeka selama 74 tahun. Untuk itu dia berharap Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah segera membahas kembali Revisi Undang-undang (RUU) KUHP.

”Pembahasan RUU KUHP memang sedang ditunda terlebih dahulu. Pemerintah dan DPR RI sepakat untuk cooling down sehingga bisa sama-sama kembali terjun menyerap aspirasi dari berbagai elemen masyarakat,” ujar Bamsoet saat menerima Forum Dekan Ilmu-Ilmu Sosial Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia, di Ruang Kerja Ketua MPR RI, komplek MPR, DPR, dan DPD RI, Jakarta, baru-baru ini.

Dalam pertemuan itu, turut hadir 15 dekan Ilmu Sosial Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia, antara lain Dekan FISIP UNHAS Profesor Amin, Dekan FIS UNJ Dr. Muhammad Zid, Dekan IPDN Bandung Dr. Ismail Nurdin, Dekan FISIP UNAND Dr. Hardi Warsono, Dekan FISIP UNPATTI Profesor Tonny D. Pariela, Dekan FISIP UNTIRTA Dr. Agus Sjafri, dan Dekan FISIP UNSIL Dr. Iis Marwan.

Dalam pertemuan tersebut para dekan itu menyoroti sejumlah hal, diantaranya pengesahan revisi UU KPK, pembahasan RUU KUHP, gerakan demonstrasi dari berbagai mahasiswa dan pelajar, hingga moralitas anggota Parlemen.

Lebih lanjut, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menjelaskan, jika dahulu dalam pembahasan RUU KUHP, pemerintah dan DPR RI lebih banyak fokus menyerap aspriasi dari LSM maupun praktisi hukum, kedepan juga dirinya berharap DPR akan banyak melibatkan kalangan akademisi FISIP Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia.

”Tak hanya membedah, jika nantinya RUU ini rampung, berbagai kalangan dan praktisi juga bisa membantu sosialisasi secara masif. Sehingga, masyarakat bisa ikut tercerahkan,” ujar politikus Golkar yang akrab disapa Bamsoet itu.

Sementara itu terkait penolakan revisi RUU KPK, Bamsoet menjelaskan, mengingat UU KPK sudah disahkan, maka kini bolanya ada di pemerintah. Jika masyarakat tak puas, bisa juga mengajukan juducial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

”Karena itu tak perlu ada gerakan yang sampai berujung kerusuhan. Siapapun tak boleh membuat kerusuhan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat,” pungkasnya.(jpc/ziz)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan