Pemuda itu marah. Setiap kali melihat tinta di ujung jarinya. Marah pada dirinya sendiri. Mengapa tadi salah pilih?
Ia pun ambil pisau di dapur: ia potong ujung jarinya itu. Saudaranya kaget. Segera membawanya ke rumah sakit. Ujung jari itu pun dibalut perban. Lalu ada yang membuat video. Diunggah ke media sosial. Menjadi viral.
Sehari setelah pemilu di Indonesia itu India juga pemilu. Coblosan kita hari Rabu. India hari Kamis. Kita selesai dalam sehari. Pencoblosan di India baru selesai lima minggu yang akan datang. Tepatnya baru selesai tanggal 19 Mei 2019.
Penghitungan suaranya akan memakan waktu 4 hari. Tanggal 24 Mei pemenangnya diumumkan.
Pemuda itu mencoblos di hari kedua: 19 April 2019. Hari itu mestinya ia gembira. Untuk pertama kalinya ikut Pemilu. Umurnya 25 tahun. Penduduk negara bagian Uttar Pradesh. Yang memiliki Taj Mahal itu. Nama pemuda tersebut: Pawan Kumar.
“Mau saya kan memilih gambar gajah. Mengapa saya memijit tombol bunga,” ujar Kumar dengan geramnya.
Seperti disiarkan media di India. Yang videonya bisa dilihat di youtube. Hanya video jari yang dibalut.
Pemilu di India sudah pakai elektronik. Pakai pijit tombol yang modern. Bukan coblos paku yang kuno.
Dosa salah pijit Kumar itu ia tebus dengan memotong ujung jari yang bertinta. Jari telunjuk. Tangan kiri.
Itulah ekspresi politik orang miskin di India. Tepatnya di Uttar Pradesh. Lebih tepatnya lagi orang termiskin.
Anda sudah tahu. Di India ada empat kasta. Yang terendah adalah sudra. Tapi orang seperti Kumar itu tidak punya kasta. Sering juga secara mengejek disebut kasta ke lima. Lebih tepatnya: tidak pantas masuk kasta. Yang terendah sekali pun.
Di India kelompok seperti Kumar itu disebut kaum Dalit. Arti Dalit sebenarnya baik: kaum mayoritas. Tapi secara politik mereka sangat minoritas.
Dulu sempat punya 21 wakil di parlemen pusat. Dalam pemilu 2014 lalu tidak satu kursi pun didapat.
Keberadaan Dalit sebenarnya diakui di konstitusi India. Tapi sistem kasta di sana membuat posisi politik Dalit sangat terpinggirkan.