JAKARTA – Adanya perintah kepada Bulog untuk melakukan impor bawang putih tanpa wajib tanam, seharusnya tidak dilanjutkan. Sebab, selain diskriminatif bagi pihak swasta dan berpotensi ekonomi rente, kebijakan ini berpotensi bermasalah di dunia internasional.
Pengamat Ekonomi perdagangan internasional dari Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan, cara ini dapat mendistorsi pasar nasional. Sehingga, Kementan dan Kemendag diminta pula tidak menerbitkan rekomendasi, sekaligus izin impor untuk bawang putih kepada Bulog.
“Dalam hal ini pilihan paling bijak adalah meng-hold (izin), baik dari Kementerian Pertanian maupun dari Kementerian Perdagangan,” ujar Fithra Faisal, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (27/3).
Dia meminta, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Harus bersinergi dengan kedua kementerian tersebut. Sehingga, jalan keluar nondiskriminatif dari masalah kurangnya pasokan bawang putih nasional dapat teratasi.
Fithra mengingatkan, kebijakan yang mengarah pada perbedaan perlakuan antar pengusaha maupun BUMN tidak seharusnya terjadi. Sebab, kebijakan tersebut seharusnya didiskusikan dulu dengan pelaku usaha agar ada kesepakatan.
Dia memaparkan, perbedaan perlakuan impor bawang putih oleh Bulog yang tidak perlu menanam 5% dari volume impor dinyatakan Fithra dan ekonom Faisal Basri, melanggar prinsip diskriminasi internasional yang dikeluarkan WTO. Hal sama juga dikritisi oleh peneliti dari Lembaga Riset Visi Teliti Saksama Nanug Pratomo.
Pengamat ekonomi Faisal Basri menyatakan, rencana pemberian wewenang impor bawang putih kepada Bulog sebagai tindakan rente.
Ia bahkan menyebutkan kesalahan tindakan Bulog dalam melaksanakan tugasnya sebagai lembaga stabilisasi harga pangan tidak hanya terjadi pada kasus bawang putih, melainkan juga pada kontrol bahan pangan lainnya, seperti gula, garam, hingga ban.
“Jadi memang sudah rusak. Bulog bikin pabrik pakan ternak atau memproduksi pakan ternak, emangnya dia apa sih? Bulog kan lembaga stabilisasi harga yang dilakukan dengan cara dia beli di pasar kalau harga anjlok, melimpah. Dan dia jual ke pasar kalau terjadi kelangkaan. Kalau dia punya pabrik itu kan namanya sudah zalim dia,” tegas Faisal.
Sementara, Nanug Pratomo mengkritisi, diskresi kepada Bulog terkesan sebagai penyelewengan atas tugas utama Bulog. Seperti juga Faisal Basri, Nanug mengingatkan, dasar pembentukan Bulog sendiri bukanlah sebagai perusahan dagang, apalagi untuk keperluan impor.