Toang, Lubang, dan Perempuan

“Mau ditemani, Mas?”

“Oh, boleh,” sahutku. Suara dialek perempuan itu seperti bukan dari daerahku. Ia mengambil tempat di sebelahku. Bau parfumnya menyengat. Mungkin aroma wanginya sudah bercampur keringat lelaki-lelaki yang lebih dulu menyentuhnya.

Aku tak pernah tahu, jika kalimat itu semacam tanda jadi dalam sebuah transaksi. Sehingga pada detik itu, setiap kata dan kalimat yang terucap sudah masuk mesin penghitung uang. Entah apa yang diucapkan kau kepada perempuan berpakaian rok mini yang mendekatimu. Namun, dari sikapmu yang hangat itu, tentulah kau tak merasa keberatan. Kau tersenyum memandangku. Ternyata itu adalah isyaratmu yang ingin mengambil tempat yang lebih privacy. Ruangan yang banyak sekat itu cukup untuk menyamarkan setiap gerak dan laku keduanya.

“Lo, jadi bengong, Mas?”

“Oh, tidak,” ucapku tergagap.

“Mereka pasti sedang menikmati malam.”

Aku hanya tersenyum. Kuraih kembali gelas kopiku. Aku hampir lupa kalau di sebelahku ada perempuan manis yang mengajakku berbincang. Meski setelah itu ada hal lain, yang jika aku ceritakan hanya membuat napsuku memburu. Perempuan yang mengenalkan dirinya dengan nama Suniati itu mengajakku untuk bercumbu. Aku melihatmu, tetapi entah ke mana?

Malam terus merayap, sebagaimana cecak-cecak di dinding yang terus memperhatikan anak-anak manusia di kamar-kamar yang berlumeran nafsu. Lubang-lubang di jalan sepanjang Pantura itu tergenang ludah langit. Entah bagaimana nasib pengendara motor yang masuk ke dalamnya. Malam kelam dan sesekali menggeliat saat bunyi-bunyi klakson sopir truk yang nakal menyapa perempuan-perempuan yang duduk menanti lelaki-lelaki sudi mampir. Napasnya jelas masih belum teratur. Senyumnya tampak ia jaga agar tetap manis.

/3//

PAGI menyapa terang dari celah-celah ranting pohon kedondong. Beberapa mobil truk dan motor masih terpakir. Perempuan-perempuan itu keluar masuk kamar mandi bergantian. Nampak kelelahan di wajahnya. Tetapi demi uang dan tuntutan hidup, semua itu dihilangkannya. Seandainya ada jalan lain yang dapat mengangkat kehidupan sosial mereka.

“Bagaimana malammu?” tanyaku tersenyum padamu yang kusut masai keluar dari salah satu kamar yang berjejer berdekatan itu. Kuhirup kembali kopi hitam semalam yang sudah dingin. Tandas sampai ke ampas.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan