Tak Ada Angpao di Rumah Kami, Yang Ada Cuma Kebahagiaan

Ribuan warga Cina Banteng-sebutan bagi warga Jeturunan Tionghoa di kawasan Tangerang telah beradab-adab tinggal sepanjang pinggiran kali Cisadane. Tak sedikit dari mereka hidup dalam belenggu kemiskinan. Meski demikian, perayaan Imlek tahun ini selalu berkesan.

KHANIF LUTFI-Tangerang

Cat rumah bergaya pecinan itu sudah lapuk dimakan usia. Lumut menghiasi di setiap sudut dinding. Rumah berukuran 10 x 7 meter itu telah sesak dihuni keluarga Wan Ki Au, 60, orang Tionghoa yang bermukim di pinggiran Sungai Cisadane, Kelurahan Sukajadi, Karawaci, Kota Tangerang, Provinsi Banten.

Rumah beratap walet terbuat dari bahan batu bata dan kayu. Rumah ini berhimpitan satu sama lain dengan tetangganya dan memanjang ke belakang. Bagian bangunan yang masih tampak asli hanya pada bagian atapnya yang meruncing. Kondisi rumah dengan rumah yang lain tak jauh berbeda dengan yang lain. Kumuh dan tidak terawat.

Rumah tersebut sudah dihuni tiga generasi sebelum Wan Ki Au lahir, sejak tahun 1910-an. Terik matahari menyeruak masuk ke dalam rumah. Hawa panas terasa hingga ke sudut dapur. Wangi hio terbakar tercium cukup menyengat. Asapnya terlihat mengepul di sekitar ruangan.

Di rumah Wan Ki Au. Ada sesajian yang diletakkan di atas meja. Lengkap. Lebih dari 20 sajian mulai dari sayur. Lauk pauk seperti ikan, ayam sampai Rambutan tersedia di meja persembahan berukuran 2×3 meter itu. Pria 60 tahun itu tengah khusyuk memanjatkan doa.

Tidak hanya membakar dupa dan kertas persembahan. Dalam tradisi Imlek, makanan ini merupakan jenis makanan yang paling disukai leluhur. Makanan tersebut ada yang disimpan di wadah plastik yang sederhana.

Masuk ke dalam rumah Wan Ki Au seperti masuk ke dalam rumah peninggalan Kolonial Belanda. Lembab dan temboknya dibiarkan tidak dicat. Semen acaiannya pun sudah lapuk. Beberapa ada yang terlihat bata merah. Di bagian lebih dalam, ada pembatas dari bilik yang digunakan sebagai kamar. Depannya ada bale atau dipan agak lebar yang biasa digunakan Wan Ki Au di waktu santai.

Lantainya juga masih dari tanah. Sedangkan atapnya, masih dari bambu sebagai penyangga genting. Sebagian terlihat sudah menghitam. Beberapa bambu juga terlihat lapuk. Di makan usia dan ditempa musim.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan