JAKARTA – Majunya sejumlah calon legislatif mantan terpidana korupsi terus menuai kontra. Banyak alasannya, mulai dari rendahnya pendidikan politik, kurangnya integritas terhadap pemberantasan korupsi, sampai politik tak bermoral.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai pencalonan mantan koruptor bukti integritas terhadap pemberantasan korupsi hanya di mulut. Emerson menyarankan satu jalan kepada partai untuk membuktikan integritas antikorupsi.
Dia menjelaskan, jika partai bisa menarik dukungan secara politik kepada caleg yang kadung terdaftar dalam daftar calon tetap (DCT). Meski sudah tak bisa ditarik, menurutnya partai bisa mendeklarasikan tidak mendukung calon legislatif itu.
Paling tidak dideklarasikan orang ini dicabut, dicopot sebagai caleg pencalonannya,” ujar Emerson di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (2/2) lalu.
Emerson pun mengaku heran, masih ada partai meloloskan para mantan koruptor. Padahal, peraturan KPU melarang caleg koruptor telah dibatalkan, Partai sudah menandatangani pakta integritas bersama Badan Pengawas Pemilu. Pakta integritas tersebut langsung ditandatangani oleh ketua umum partai. ”Pakta integritas dilanggar oleh mereka sendiri,” imbuhnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, menyebut masalah ini berasal dari DPR. Di mana undang-undang pemilu dibuat di Senayan. Dia menduga ada kepentingan partai dibaliknya.
Karenanya pembatalan PKPU oleh Mahkamah Agung tak serta merta menjadi pangkal masalah. Karena MA memiliki ruang sempit untuk memutuskan berdasarkan UU yang ada.
`Ke publik, seperti di tempat pemungutan suara. Agar masyarakat tahu dan tidak memilih caleg tersebut. ”Jalan keluarnya publikasikan supaya enggak pilih mantan koruptor,” imbuhnya.
Sebelumnya, Akademisi Univeritas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Suryani mengatakan, fenomena caleg koruptor itu aneh. Menurut saya itu salah satu indikator dari gagalnya regenerasi atau kaderisasi dalam parpol. ”Hal tersebut berakar dari pola oligarki partai yang makin menguat dalam parpol hingga sistem organisasi tidak bisa lagi bekerja dengan baik,” paparnya.
Lebih lanjut Suryani menegaskan, selain masalah gagalnya kaderisasi, fenomena ini adalah kelemahan yang mencolok dari sistem pemilu. Seharusnya ada keterkaitan yang komprehensif antara etika politik, pendidikan politik bagi masyarakat dan sistem pemilu itu sendiri. Masalah hak politik untuk dipilih harus diatur sedetil mungkin jangan sampai meninggalkan dan mengabaikan moralitas dan etika politik. (khf/fin/rie)