Konstitusi Indonesia Kembali Diuji

Yang ditolak OSO nampaknya bukan soal waktu menyerahkan surat pengunduran diri yang diminta KPU sebelumnya ditetapkan dalam DCT tetapi bagaimana bisa menjadi calon dan anggota DPD sekaligus pengurus parpol. ”Jadi putusan Bawaslu ini nampak main-main atau bisa saja penuh permainan. Mereka ingin nampak seolah-olah taat terhadap administrasi pemilu tetapi sesungguhnya mereka justru ingin tunduk pada OSO,” paparnya.

Keputusan Bawaslu ini gagal menghadirkan kontestasi calon DPD yang adil. Banyak calon DPD yang merupakan pengurus Parpol telah mematuhi keputusan MK untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebelum ditetapkan sebagai DCT. Mereka-mereka itu bukan tak ingin merangkap sebagai pengurus parpol.

Hanya karena berusaha taat pada UU dan juga menyadari marwah DPD, mereka dengan beban masing-masing akhirnya memutuskan mundur dari kepengurusan Parpol. Dengan memberikan pengecualian khusus kepada OSO hanya karena kengototannya mencari celah hukum, dia menjadi satu-satunya caleg DPD yang tetap berbaju pengurusan parpol pada Pemilu 2019 mendatang.

Dirinya menambahkan keputusan Bawaslu terkait tentang Oso juga jelas-jelas mengabaikan substansi hukum. Hal ini dikarenakan sudah jelas bahwa keputusan MK setara dengan UU, maka seharusnya tidak ada tafsir berbeda apalagi menggunakan pendekatan administratif untuk menilai keputusan MK.

”Anehnya Bawaslu sepakat dengan persyaratan mengundurkan diri dari kepengurusan Parpol tetapi meniadakan syarat itu dalam proses penetapan DCT yang menjadi pokok gugatan yang sedang diujinya. Keanehan-Keanehan inilah yang mengindikasikan adanya permainan dalam keputusan Bawaslu tersebut,” tandasnya.

Sebelumnya, Bawaslu menilai KPU secara sah melanggar administrasi pemilu. Dalam sidang pembacaan putusan yang dilaksanakan di Kantor Bawaslu, Rabu (9/1). Sehingga secara langsung Majelis hakim meminta kepada KPU untuk memasukkan nama Oesman Sapta Odang (OSO) ke daftar calon tetap (DCT) calon anggota DPD RI. (frs/zen/fin)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan