Ketiga, yakni disparitas pemidanaan. Berdasarkan data yang dihimpun ICW, terdapat beberapa putusan yang menggunakan pasal berikut kerugian yang sama, akan tetapi pemidanaannya berbeda. Misalnya, dalam putusan terdakwa Bupati Siak, Arwin AS, dan Bupati Kalimantan Timur, Abdul Fatah.
”Arwin AS divonis empat tahun penjara, nilai kerugian negara Rp301 miliar. Sedangkan Abdul Fatah divonis 1,5 tahun penjara, kerugian negara Rp346 miliar. Padahal dari sisi kerugian tidak jauh berbeda,” terangnya.
Terakhir, tuntutan jaksa yang belum maksimal. Dari total 84 perkara, 16 di antaranya dituntut pidana ringan. Kurnia mengatakan, dilihat dari konstruksi dakwaan, mayoritasnya menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang memungkinkan untuk menuntut pelaku korupsi dengan pidana maksimal.
“Nah sebagai leading sector bagi pemberantasan korupsi seharusnya lembaga antirasuah ini dapat menuntut hukuman berat bagi pelaku korupsi yang berasal dari sektor kepala daerah,” bebernya.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyebut, biaya politik yang tinggi menjadi salah satu pemicu perilaku korupsi kepala daerah. Sebab, menurut dia, kepala daerah kerap mengembalikan dana pencalonan dan kampanye melalui tindak pidana korupsi.
“Biaya pencalonan itu Rp20 miliar hingga Rp30 miliar. Kalau tidak korupsi, kerja siang malam pun kembalikan modal saja tidak bisa,” terang Agus.
Maka dari itu, ia mendorong pemerintah untuk segera membenahi sistem pemilu agar berbiaya rendah. Misalnya, melalui revisi undang-undang pemilu dan partai politik. “Salah satu usulan yang ditawarkan KPK adalah pembiayaan parpol sepenuhnya oleh negara,” kata dia. (riz/fin/ful)