Denny Heribertus menemukan fakta bahwa lansia di daerah terpencil butuh kacamata bukan hanya untuk membaca. Melainkan juga agar lebih mudah memasukkan benang ke jarum dan menyisihkan kerikil dari beras.
BAYU PUTRA, Jakarta
“UNTUK operasional, kami pakai uang pribadi. Termasuk biaya perjalanan ke berbagai daerah,” lanjut pria yang memiliki usaha di bidang periklanan tersebut.
Dari situ, Denny mendapati fakta menyedihkan terkait kesehatan mata di Indonesia. Belum banyak masyarakat di daerah yang peduli dengan kesehatan mata. Sebagian besar menganggap kondisi yang mereka alami adalah normal. Meski buram bila melihat benda di kejauhan. Padahal, bila melihat dalam kondisi semacam itu, mata akan mudah lelah karena saraf terus bekerja keras sepanjang waktu.
‘’Kalau terus dibiarkan, dalam jangka panjang ada risiko kebutaan,’’ ucap pemilik mata minus 1,25 itu. Hal itulah yang belum banyak diketahui masyarakat, terutama di wilayah yang akses informasinya masih rendah.
Saat berkunjung di daerah, tidak jarang dia mendapati kasus yang sudah cukup parah. ‘’Relawan kami pernah mendapati orang dengan kondisi mata minus 5,’’ ungkap pria kelahiran 1974 itu. Dia nyaris tidak bisa melihat. Memang, ada sebagian yang sadar bahwa kondisi matanya tidak normal.
Namun, apa daya, kondisi ekonomi memaksa mereka memprioritaskan kebutuhan perut ketimbang mata. Saat itulah Denny dkk hadir di tengah-tengah mereka. “Ketika dipakaikan kacamata, baru mereka sadar, oh ternyata jadi terang ya,” ucapnya.
Denny menuturkan, 1000mata tidak memberikan kacamata kepada semua orang tak mampu. Pihaknya membatasi usia penerima kacamata. Pertama, anak-anak usia 7-15 tahun. “Karena mereka punya distance (jarak) pupil yang mirip-mirip. Sehingga kami bisa sediakan kacamata yang mirip-mirip,” ucapnya. Apalagi, anak-anak merupakan usia sedang semangat-semangatnya belajar. Kedua, lansia yang dimulai dari usia 45 tahun. Rata-rata penglihatan mereka mulai berkurang sehingga untuk jarak dekat susah melihat.
Kasus anak dengan minus tinggi banyak dia jumpai di perkotaan. Denny menganalisis, penyebab mata minus di kalangan anak-anak adalah gaya hidup. Misalnya, perilaku yang salah dalam menonton televisi atau bermain gadget. Juga, kurangnya nutrisi akibat terlalu sering mengonsumsi makanan instan. ‘’Kalau di daerah terpencil, malah jarang kami temukan anak-anak yang minus tinggi,’’ lanjutnya.