Pertaruhan peningkatan mutu pendidikan (menengah) yang sedang bermetamorphosis dari pengelolaan di tingkat kabupaten/kota ke tingkat provinsi secara teknis bukan saja tetap bertumpu pada sekolah sebagai ujung tombaknya, tapi juga pada perangkat birokrasi yang mengelolanya.
Sekolah akan tetap menyandang status sebagai ”Center of Change” dengan para pemimpin pendidikan (Kepala Sekolah) sebagai dirigennya. Sedangkan, perangkat birokrasi dengan Kepala Dinas sebagai nahkodanya bertanggung jawab pada kebijakan umum manajemen pendidikan menyangkut man, money, method and material (4M). Termasuk regulator dan transformator kebijakan pusat di daerah.
Nah, biasanya suasana transisi terlebih-lebih pada suasana pemilukada memberi ruang munculnya intervensi birokrasi ”pendidikan” melalui penempatan pemimpin pendidikan dan kepala sekolah yang asal tunjuk.
Bila demikian keadaannya, maka sangat mungkin praktek pendidikan (formal) akan bergerak seperti tanpa ”ruh”. Ia menjadi tidak inovatif dan terbelenggu oleh rutinitas serta tidak menciptakan hal-hal baru lagi yang menggairahkan semua civitas akademikanya. Sekolah sebagai ujung tombak praksis pendidikan menjadi lokomotif kepentingan rezim/kekuatan yang mengancam dan menentukan ”hidup-matinya” sekolah dan birokrasi pendidikan yang mengawalnya.
Pendidikan tanpa ruh adalah pendidikan yang tidak dipola dan distrategikan oleh integritas ahlak pimpinan birokrasi yang menangani pendidikan. Mengutip pendapat Ahmad Baihaqi (2015): Secanggih apapun pola dan metode pendidikan yang diterapkan, jika tidak memiliki ruh, maka ia hanya akan menciptakan robot-robot tanpa nyawa.
Lembaga pendidikan menjadi seperti mesin pabrik yang memproduksi barang dagangan dengan deretan meja-meja transaksi. Lalu dengan parameter kelulusan berdasarkan nilai numerik diklaim telah berhasil dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sebuah keberhasilan yang dimaknakan sangat sempit bagi pengembangan mentalitas dan akhlak. Sangat mungkin kondisi lembaga pendidikan semacam inilah yang oleh Ivan Illich (1971) dicatat sebagai ”Deschooling Society”, suatu sistem penyelenggaraan pendidikan yang mengasingkan peserta didik terhadap lingkungan sekitarnya yang menyebabkan manusia terasing dari dunia nyata.
Menurutnya lembaga pendidikan (formal/sekolah) tidak menjamin peserta didik untuk mendapat pendidikan secara bebas. Terlebih-lebih dalam kondisi praksis pendidikan yang dikendalikan dan diarahkan untuk kepentingan pribadi atau golongan, jangankan untuk mempersiapkan jawaban atas tuntutan keterampilan abad 21 yang menyaratkan pentingnya kualitas karakter, literasi dasar dan kompetensi 4 C ( Critical thinking and problem solving, Creativity, Communication Skills and Ability to work collaborativelly), untuk memberi ruang saja bagi berkembangnya kepribadian dan karakter peserta didik sesuai dengan potensinya masing-masing malah kehilangan keteladannya.