Murid Sebagai Anak Didik, Anak Genetik dan Sahabat Terbaik

Proses KBM di kelas menjadi prioritas utama sebuah pembelajaran. Dalam artian, output dari KBM ini berwujud nyata dalam bentuk ujian yang membuahkan buku laporan hasil pendidikan. Oleh sebab itu, materi yang harus diajarkan di kelas harus tersampaikan sesuai dengan RPP. Jika tidak tercapai, pembelajaran di semester tersebut dianggap gagal. Di sinilah saya sebagai guru menempatkan mereka sebagai anak didik yang harus saya didik dengan memberikan materi pelajaran dalam bobot tertentu. Meskipun dalam transfer pengetahuan tersebut saya bersikap dominan dan sedikit otoriter, tapi sesungguhnya saya pun mendapatkan pelajaran dari mereka. Inilah hakikat dari Kegiatan Belajar Mengajar, ada sebuha simbiosis mutualisme antara guru dan murid, karena tidak jarang guru pun mendapatkan ilmu dari murid yang diajarnya.

Pada saat KBM pun saya menganggap mereka sebagai sebagai anak genetik, anak kandung sendiri. Meskipun tidak dominan, dengan maksud menambah kepedulian terhadap mereka dalam penangkapan materi. Seperti halnya keinginan saya agar anak sendiri pintar, maka peserta didik yang saya didik di sekolah pun harus pintar semua. Untuk itu, saya merasa tertantang untuk mematangkan materi yang belum dikuasainya dengan berbagai pelajaran tambahan. Bukan sekedar mengejar target nilai, lebih jauh lagi mereka adalah anak saya yang harus bisa menguasai pelajaran tersebut.

Di luar KBM, khususnya saat mereka di area sekolah, posisi anak didik itu dominasinya tergeser oleh anak genetik. Mereka adalah anak saya, yang saya beri kasih sayang sepenuhnya. Ketika niat di hati dipancangkan seperti itu, sikap merekapun menjawabnya dengan memperlakukan saya sebagai bapaknya. Apalagi untuk level anak SD yang masih manja seperti yang saya ajar saat ini, mereka bersikap tanpa ada jarak dengan saya. Anak laki-laki paling senang untuk duduk di kedua kaki saya, mereka pun tidak malu untuk minta digendong dan sikap kolokan lainnya khas anak-anak. Khusus untuk anak perempuan yang terhalangi sekat gender dan muhrim, saya memberikan pengertian tentang itu. Merekapun tetap menunjukan kemanjaan dan sikap kolokannya dalam batas tertentu. Salaman dan sapaan yang saya berikan kepada siapapun anak di sekolah, adalah sapaan dan salaman yang disertai dengan doa tulus dan dekapan erat serta elusan kepala, buat anak laki-laki, dan doa serta elusan kepala saja bagi anak perempuan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan