”Ini amanah dari undang-undang partai politik sekaligus menunjukkan manajemen modern yang dilakukan partai politik dalam menjaring calon pemimpin,” jelasnya.
Di Jawa Barat, sebanyak 16 daerah dan satu provinsi akan memasuki tahapan pilkada serentak 2018.
Dalam pilkada biasanya ada banyak dinamika politik demokrasi yang sebenarnya sudah terjadi dari dulu dan tidak asing lagi. Yaitu fenomena kemunculan birokrat yang ikut memeriahkan pesta demokrasi.
Salah seorang pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Arlan Sida mengatakan, munculnya kalangan biokrat ikut mencalonkan di Pilkada nanti sah-sah saja. Sebab, merupakan hak dari setiap warga negara untuk dipilih dan memilih.
”Yang menjadi persoalan, posisi mereka sebagai ASN masih diatur oleh undang-undang. Di situ jelas dikatakan seorang birokrat atau Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh cenderung berpihak kepada salah satu partai politik. Artinya di sana dipaksakan atau harus bersifat netral,” katanya, saat ditemui di Kampus Unjani, Jalan terusan Jenderal Sudirman Kota Cimahi, baru-baru ini.
Dengan mereka melamar ke salah satu partai, lanjutnya, berarti secara tidak langsung mereka sudah berpihak ke salah satu partai politik. Dan akan menjadi sesuatu yang dilematis.
Dia menuturkan, undang-undang ini hadir agar ASN tidak melakukan politik. Sebab dengan ASN berpolitik, dikhawtirkan akan berakibat mengganggu kinerja birokrasi.
”Itu yang menjadi kekhawtiran saya. Sehingga bagaimana caranya? ya sebaiknya saat mereka mencalonkan sudah bebas nilai dan tidak menjadi pejabat. Itu lebih fair,” ujarnya.
Menurut Arlan, maraknya biokrat yang masuk lingkar politik, apalagi mencalonkan menjadi kepala daerah, dikhawatirkan akan menimbulkan kegaduhan di kalangan birokrasi itu sendiri. Dampaknya, pencapaian kerja dalam konteks pemerintah akan berjalan tidak optimal.
”Akan berpengaruh kepada bawahannya juga, jika si A itu condong ke salah satu partai politik, bawahannya juga pasti bersiap-siap akan melakukan manuver,” tuturnya. (yan/rie)