Delegasi Asing Kepincut Model Penggabungan Metode Pengobatan

Yang menarik, para lansia itu bukan grup tari yang ditanggap dr Eny. Mereka adalah pasien Klinik Eny yang tergabung dalam Paguyuban Husada Mulia. Hampir semua pasien tersebut mengidap penyakit kronis. Antara lain kencing manis (diabetes), hipertensi, dan stroke. Secara keseluruhan, Klinik Eny memiliki pasien ”tetap” 358 orang untuk diabetes dan 58 orang untuk hipertensi.

Klinik Eny berdiri pada 18 Juli 2007. Mulai bekerja sama dengan BPJS Kesehatan pada 2011. Setiap hari sekitar 90 pasien dilayani di klinik tersebut. Jumlah itu terbilang besar. Sebab, pasien yang datang bukan hanya warga sekitar Bantul dan Jogja. Tapi juga warga Sleman dan daerah lain.

Pengobatan di Klinik Eny memang agak berbeda dengan klinik-klinik pengobatan lain. Pengobatannya tak melulu sebatas pasien datang, diperiksa, diberi obat, pulang, lalu kembali saat obat habis atau penyakit kambuh. Itu tak cukup. Dokter Eny merasa bahwa kesehatan pasiennya harus terus dikontrol. Misalnya, pasien harus menerapkan pola hidup sehat agar tidak terjadi komplikasi dari penyakit yang diderita.

”Penyakit diabetes dan hipertensi kan memang tidak bisa sembuh 100 persen. Tapi bisa dikendalikan. Ini yang kami kejar,” ungkap ibu dua anak itu.

Eny bercerita, awalnya cukup sulit untuk mengubah kebiasaan para pasiennya. Apalagi, mereka bukan anak-anak lagi yang bisa dipaksa untuk berolahraga. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu harus berjuang mendekati para pasiennya.

Mengusung konsep religi dan budaya, perempuan berkerudung itu sukses mengambil hati pasien-pasiennya. Dalam pendekatan religi, Eny merangkul seluruh agama yang ada. Mulai Islam, Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, hingga Khonghucu. Di klinik berukuran sekitar 5 x 6 meter tersebut, Eny juga menyediakan buku-buku tentang kesehatan dari sudut pandang berbagai agama.

Sementara itu, unsur budaya disisipkan, mulai gaya bangunan klinik yang berbentuk joglo hingga suara musik gamelan yang dijadikan backsound klinik. Biasanya yang diputar gending-gending Jawa populer seperti gending Kodok Ngorek yang biasa dilantunkan dalam acara perkawinan ala Jawa.

’’Ini membuat suasana jadi rileks. Banyak dari mereka (pasien) yang tiba-tiba mengaku sudah enak. Katanya habis ketiduran nunggu antrean sambil mendengarkan gending-gending. Begitu diperiksa, pasien mengaku sudah mendingan,” tutur Eny, kemudian tersenyum.

Tinggalkan Balasan