Tim Salvage, Pasukan Khusus untuk Evakuasi Pesawat Tergelincir

Ada beberapa pesawat tergelincir yang dievakuasi tim Salvage. Antara lain pesawat Adam Air di Bandara Hang Nadim Batam pada 2004, kemudian Lion Air di bandara yang sama pada 2009.

Ada pula pesawat Sriwijaya Air di Bandara Soetta dan Batik Air di Bandara Adisutjipto pada 2015. Yang terbaru, pesawat Garuda Indonesia di Bandara Adisutjipto 1 Februari lalu. Pesawat terbesar yang pernah ditangani tim Salvage adalah Boeing 737-900.

Apa saja yang dilakukan tim tersebut? Sunyoto, kepala Dinas Building Fire Protection ARFF yang juga anggota senior di tim Salvage, menjelaskan bahwa timnya bekerja dengan sangat hati-hati. Sebelum memulai penanganan, selalu ada rapat dengan seluruh pihak terkait untuk memutuskan metode yang akan digunakan.

Tim Salvage tiba di lokasi, lalu melakukan assessment di TKP berdasar kondisi pesawat. Tim memperkirakan tingkat kerusakan, kemudian menganalisis beberapa alternatif metode evakuasi. Juga menganalisis jalur evakuasi terbaik ke titik yang telah ditentukan.

”Setelah itu, saya rapat dengan KNKT, maskapai, bandara, dan lain-lain, sementara anggota saya menyiapkan peralatan,” tuturnya.

Setelah metode evakuasi disepakati, barulah tim mulai bekerja. Kunci utamanya adalah ketepatan dan kecepatan. Kerja tim tidak boleh keliru. Jangan sampai timbul kerusakan baru pada pesawat saat proses evakuasi. Kemudian, tim juga diburu waktu karena beberapa kejadian membuat bandara harus ditutup.

Agus menambahkan, kecepatan kerja tim tidak hanya ditentukan oleh pengalaman. Tapi juga ketersediaan peralatan pendukung. Ketika berangkat, tim Salvage biasa membawa beberapa peralatan seperti airbag inflatable untuk kelas 40 ton. Kemudian, ada air control system, sling, hingga tali (rope). Tidak lupa track atau landasan portabel untuk media menarik pesawat. ”Ukuran masing-masing 2×1 meter dengan berat 72 kilogram. Kami punya 47 buah,” urainya.

Salah satu metode evakuasi, misalnya, badan pesawat diangkat terlebih dahulu dengan airbag, lalu di bawah roda dipasangi track. Setelah itu, barulah pesawat bisa ditarik.

Peralatan-peralatan itu diterbangkan dari Bandara Soekarno-Hatta bersama dengan para anggota tim. ”Kalau bandara masih bisa beroperasi, kami mendarat di bandara TKP. Tapi, kalau ditutup, kami divert,” tutur Agus.

Tinggalkan Balasan