Dikenal Turis Manca berkat Prestasi Kepala Desa

Sejam kemudian, kami sampai di pintu masuk Kampung Merabu. Tapi, rumah-rumah warga berada di seberang Sungai Bu. Kampung Merabu berada di muara Sungai Bu. Artinya, kami harus menyeberangi sungai lagi untuk sampai ke tujuan.

Perjalanan menyeberangi Sungai Bu tak kalah menantang. Kali ini tanpa menumpang perahu lagi. Mobil langsung terjun ke sungai selebar 15 meter itu. Masalahnya, kalau tidak hati-hati dan tidak hapal jalurnya, mobil bisa terperosok di kedalaman sungai.

’’Lihat arusnya, kalau ada riak, itu berarti dangkal,” kata Kamil yang sudah terbiasa menyeberangi sungai dengan mengendarai mobil.

Kepala Kampung Merabu Franly Aprilano Oley sedang berada di rumah kayu panggungnya ketika kami tiba. Rumah penduduk Merabu umumnya dicat warna-warni. Rumah Franly dominan warna hijau.

Mengenakan kaus oblong dan celana pendek, dia menyambut kami dengan hangat. Pembawaan Franly begitu santai. Mungkin karena usianya yang masih muda. Pada 27 April nanti dia baru berusia 28 tahun.

Saat diangkat menjadi kepala Kampung Merabu pada 2012, Franly masih 23 tahun. Bila ada penghargaan untuk kepala kampung atau kepala desa termuda di Indonesia, dia bisa masuk nominasi. ’’Saat itu saya paling muda se-Berau,” ujar pria kelahiran Manado tersebut.

Franly memang bukan penduduk asli Merabu. Dia datang ke kampung berpenduduk 64 kepala keluarga itu sebagai tukang kayu yang membangun sekolah baru. Tapi, dalam perantauannya tersebut, Franly kepincut dengan bunga desa setempat, Mariana. Mereka lantas menikah pada November 2010 dan kini dikaruniai dua putri: Jessica Aulia Oley, 5, dan Jennifer Quinsy Oley, 2.

Setelah menikah, Franly mendapat tawaran menjadi guru tidak tetap di SD kampung itu. Franly yang lulusan Jurusan Tata Busana SMK I Tondano diminta menjadi guru bahasa Inggris. Lantaran keterbatasan SDM, kadang dia menjadi guru kelas saat guru lain tidak masuk. Bahkan, dia pernah mengajar murid satu sekolah. ’’Dari enam kelas, saya bagi dua kelas,” kata Franly, lantas tersenyum.

Jadi guru dengan gaji Rp 300 ribu sebulan dia anggap sebagai pengabdian. Tapi, dia harus tetap menjaga dapur agar tetap ngepul dengan bekerja serabutan. Mulai menjadi  juru langsir (porter) barang, tukang pungut sarang walet, hingga pencari madu.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan