Belajar di Bandung, Topeng Kelana Jadi Favorit

Keadaan Bandung saat itu jauh dari kehidupannya di San Francisco. Hal itu sempat membuat dia mengalami culture shock. Hidup di Kota Kembang benar-benar berbanding terbalik dengan yang dijalaninya selama ini di kota kelahirannya.

Di Bandung dia harus hidup sederhana. Meski begitu, Margot senang. Dia bisa berada di pusat seni budaya Sunda yang dia kagumi.

Di Bandung dia belajar kepada ahli musik dan tari Nugraha Sudireja. Sosok tersebut digambarkan sebagai master dari sekolah nonformal. ”Dia saat itu pensiunan PNS (pegawai negeri sipil, Red),” ucapnya.

Gurunya itu disebut unik karena berhasil memberikan sentuhan pada tari topeng Cirebon dengan urban Bandung. Misalnya, pada kostumnya, sehingga agak berbeda dengan aslinya.

Selain dengan Nugraha Sudireja, Margot belajar tari pada Irawati Durban Ardjo, pendiri Pusbitari, keturunan Tjetje Soemantri, pelopor tari kreasi Sunda.

”Waktu itu dia (Irawati, Red) masih kecil dan sudah menjadi penari di Istana Negara,” katanya.

Tari pertama yang dipelajari Margot adalah topeng kelana. Dia lupa berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menguasai tari itu. Namun, kata gurunya, Margot terbilang paling cepat menguasai tari tersebut. Malah, dia sampai diminta membantu murid Nugraha lainnya agar cepat bisa. ”Saya tidak hanya belajar menari, tapi juga musik tradisinya,” tuturnya.

Setelah tari topeng kelana, Margot belajar tari lainnya. Di antaranya, tari merak hasil kreasi Tjetje Soemantri, tari topeng kencana wungu, dan tari anjasmara. ”Sampai sekarang saya bisa 20 jenis tari Sunda. Tapi, my signature dance adalah topeng kelana,” tuturnya.

Selama belajar menari di Bandung, ada pengalaman lucu yang diingatnya sampai kini. Postur Margot yang bongsor kala itu membuatnya kerap diminta sang guru untuk memerankan tokoh laki-laki saat pertunjukan. ”Saya sering dipilih menjadi tokoh yang gagah,” katanya, lantas terbahak.

Margot di Bandung selama tiga tahun. Setelah itu, dia melanjutkan studi tarinya ke India selama dua tahun. Baru kemudian pulang ke Los Angeles untuk mendapatkan gelar sarjana di University of California.

Pada 1992 dia sempat kembali ke Indonesia bersama anaknya yang berusia enam tahun. Kunjungan itu menjadi momen tidak terlupakan karena dia ke Cirebon untuk bertemu dengan keluarga gurunya yang sudah meninggal.

Tinggalkan Balasan