Lalu, pelaku pengeboman ternyata membawa kartu tanda penduduk (KTP). Hal tersebut tentunya sangat sepele, namun merupakan kesealahan besar dalam sebuah aksi. ”Pertanyaan yang muncul, mereka kapasitasnya lemah atau malah bodoh,” ujarnya.
Kegiatan amaliyah semacam ini terlihat dalam dua aksi teror terakhir. Yang pertama bom Solo yang daya ledak bomnya tak mampu menghancurkan pot bunga yang jaraknya dua meter dari bom. ”Yang terakhir ini ya bom Medan ini,” jelasnya.
Dengan begitu, dapat dipastikan kemampuan dari jaringan teror di Indonesia memang melemah. Terutama dari segi kemampuan militer. Hal itu dikarenakan dua penyebab, yakni sosok yang memiliki kemampuan militer sedang berada di Suriah dan para mantan kombatan Afghanistan justru menolak paham ISIS. ”Ini keuntungan tersendiri,” jelasnya.
Namun, yang justru dikhawatirkan adalah kejadian ini menunjukkan rekrutmen jaringan teror masih terjadi. Bahkan, rekrutmen itu makin membabi buta. ”Bisa dibilang, gagasannya besar tapi, kualitasnya kecil,” ungkapnya.
Kalau melihat usia pelaku yang masih 17 tahun ini menunjukkan bahayanya radikalisme. Anak remaja saat ini menjadi sasaran yang empuk untuk pelaku teror. ”Maka, seharusnya pencegahan harus dikuatkan, pentingnya soft approach itu di sini,” jelasnya.
Kekurangan lainnya, saat ini jumlah anggota Densus 88 Anti Teror juga masih sangat minim. Hal tersebut berdampak pada kemampuan mendapatkan informasi untuk mencegah aksi teror terjadi. ”Ya, jumlahnya sedikit, gajinya juga belum memadai,” terangnya. (mea/sam/idr/yul/jpnn/rie)