Predator Seksual Anak Dikebiri

Menurut Badrodin, saat ini teknis pelaksanaan hukuman tersebut masih terus dimatangkan. Yang jelas, pihak Kepolisian siap menjalankan pemantauan ketat terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak jika nanti pelaku sudah bebas dari penjara dan kembali ke masyarakat. ”Misalnya kalau (pelaku) mendekati sekolah, bisa diperingatkan,” jelasnya.

Di lain pihak, Keputusan penerapan hukuman tambahan berupa kebiri untuk pelaku kejahatan seksual anak ditentang sejumlah peneliti hukum. Para peneliti hukum yang tergabung dalam aliansi 99 itu telah melayangkan surat ke presiden menolak penerapan kebiri.

Aliansi 99 melihat penerapan kebiri selama ini bukan solusi utama mengatasi situasi darurat kekerasan seksual pada anak-anak. Pertama, hukuman kebiri termasuk dalam kategori penyiksaan. Padahal Indonesia telah meratifikasi konvensi antipenyiksaan dan penghukuman tak manusiawi.

’’Kekerasan tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan,’’ kata Supriyadi Widodo Eddyono dari Institue for Criminal Justice Roform (ICJR). Penggunan kebiri dengan metode chemical castration di sejumlah negara juga tak pernah berhasil menurunkan angka kejahatan seksual.

Khotimun Sutanto dari LBH Apik menambahkan, dalam menyelesaikan persoalan darurat kekerasan seksual pada anak pemerintah sebenarnya sangat tanggap. Namun solusi yang diambil hanya sekedar memikirkan hukuman untuk pelaku. Padahal menurut Khotimun ada banyak hal yang harus diperbaiki.

Misalnya menyangkut sistem peradilan pidana. Selama ini para peneliti hukum ini kerap menemukan kasus banyak korban yang menghadapi hambatan penyelesaian perkaranya, baik di tahap penyidikan maupun penuntutan.

Khotimun juga melihat rancangan perppu justru melupakan nasib korban kejahatan seksual. ’’Tak ada satupun pasal yang menaruh perhatian pada hak korban kejahatan seksual,’’ terangnya. Padahal saat ini di Indonesia regulasi yang mengatur kompensasi, restitusi, rehabilitasi, bantuan medis, psikologis dan psikosial untuk para korban kejahatan seksual belum memadai.

’’UU Nomor 31 tahun 2016 yang mengatur perlindungan saksi dan korban sangat terbatas dan tidak komprehensif untuk korban kejahatan seksual anak,’’ jelasnya.

Dalam suratnya yang dikirim ke Presiden Joko Widodo, Aliansi 99 juga mengingatkan pentingnya data kasus kejahatan seksual dan pemulihan para korbannya. Saat ini menurut mereka hal tersebut sangat minim. ’’Hanya ada dari Komnas Perempuan,’’ ucap Ermelina Singereta dari ECPAT Indonesia.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan