Buah Bibir Dunia untuk Kampung Miskin Medellin

Inilah yang membuat Medellin terpilih sebagai kota paling inovatif di dunia pada 2012: memberikan kemewahan untuk kampung termiskin di kota paling kaya di Kolombia itu. Saya tertarik untuk melihatnya. Dan belajar darinya. Saya pergi ke Medellin Minggu siang pekan lalu, saat saya ke Kolombia dalam rangkaian kunjungan ke Meksiko.

NEW HOPE 22 Oleh: Dahlan IskanKampung miskin di Medellin itu ternyata luar biasa luas. Sekitar 2 kilometer (km) persegi. Penuh dengan rumah petak. Mirip Tanah Tinggi, dekat Senen, Jakarta. Saya bisa membandingkannya karena sering masuk gang di Tanah Tinggi.

Saya juga pernah mengunjungi lautan kampung kumuh di Cape Town, kota paling indah di Afrika Selatan. Agar tidak mengganggu keindahan Kota Cape Town, kampung kumuh itu disembunyikan dalam pagar tinggi yang mengelilinginya.

Tapi, yang ada di Medellin berbeda. Kemiskinan di Medellin tidak bisa disembunyikan. Kampung petak itu ter-display dengan nyata. Mengapa? Sebab, berada di lereng gunung yang cukup terjal. Dari bawah ke atas, yang jarak lurusnya hanya 2 km, perbedaan ketinggiannya 400 meter. Tidak akan ada pagar yang bisa menutupinya.

Dengan demikian, lautan kemiskinan itu bisa dilihat dari kota di bawahnya secara dramatis. Tanpa bermaksud melihatnya pun, akan terlihat sendiri. Seluruh lereng gunung itu padat dengan rumah petak.

Tidak bisa disembunyikan, tidak bisa digusur, tidak bisa dibenahi. Maka, dilayani saja. Melayani pun sulit. Medannya yang terjal dan padat tidak mudah dijangkau. Sampai timbul ide yang sangat inovatif ini. Yang membuat Medellin menjadi buah bibir dunia di bidang manajemen perkotaan.

Dampak inovasi tersebut memang sangat nyata. Kriminalitas menurun drastis. Penduduk bisa dijangkau. Mereka juga bisa pergi ke kota dengan mudah dan murah untuk mencari sumber penghidupan. Kesejahteraan meningkat.

Dulu, lingkaran kemiskinan di situ memang sulit diatasi. Akses ke sana amat berat. Gang-gangnya sempit seperti spiral. Kendaraan kecil-kecil hanya bisa merangkak termehek-mehek dari kampung terbawah. Untuk mencapai kampung paling atas, diperlukan waktu 2,5 jam. Ongkosnya pun mahal.

Lengkaplah sudah gelar tradisional kampung itu berpuluh tahun: kumuh, penuh kejahatan, tempat persembunyian, dan pusat kebodohan. Secara singkat, sering disimpulkan secara berlebihan: Siapa yang masuk ke sana tidak akan keluar dengan selamat.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan